Jumat, 14 Mei 2010

REINTERPRETASI DAN REKONSTRUKSI SEJARAH PERADABAN BUGIS: SEBUAH DRAFT PENGANTAR DISKUSI

Meskipun pendapat Profesor Arysio Santos, Geolog dan Fisikawan nuklir asal Brasil yang melakukan penelitian atas keberadaan Atlantis selama 30 tahun dan mempublikasikannya lewat buku, “Atlantis: The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” masih diperdebatkan mengingat hingga kini belum ada ekspedisi khusus untuk mencari lokasi Atlantis di kawasan nusantara sekarang, tapi hampir ---kalau tidak semua--- analisis, argumen dan bukti yang dipaparkannya sesuai dengan akal sehat dan fakta. Menurut Santos, Atlantis merupakan benua yang membentang dari India bagian selatan ke Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Paparan Sunda sebagai sebuah daratan.

Menurut Plato, Atlantis merupakan kawasan yang maju dan makmur serta bermandikan matahari sepanjang waktu, memiliki kekayaan alam seperti bahan tambang logam dan mineral, rempah-rempah, sistem bercocok tanam yang maju, memiliki ilmu pegetahuan, dan teknologi yang tinggi sehingga menjadi pusat peradaban dunia pada zamannya. Benua ini menghilang akibat letusan beberapa gunung berapi yang terjadi secara serentak sehingga menimbulkan gempa, pencairan es, banjir, serta gelombang tsunami besar yang menaikkan permukaan air laut sekitar 130 hingga 150 meter. Peristiwa bencana alam tersebut antara lain mengakibatkan:
1. Berakhirnya zaman es pleistosen secara dramatis;
2. Terbukanya Selat Sunda yang memisahkan pulau Jawa dengan Sumatera;
3. Tenggelamnya sebagian permukaan benua Atlantis hingga hanya dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak gunung yang tersisa sebagai pulau-pulau baru;
4. Hilangnya hampir 70 persen spesies mamalia yang hidup pada masa itu;
5. Tidak terhitung manusia-manusia Atlantis yang menjadi korban;
6. Manusia-manusia Atlantis yang selamat mengungsi ke dataran-dataran tinggi atau puncak pengunungan yang tidak tenggelam dan telah berubah menjadi pulau atau menyeberang ke Asia daratan.

Bencana alam besar tersebut, oleh para ahli diperkirakan terjadi 3 kali sehingga meski mampu menenggelamkan kawasan itu tepat pada akhir zaman es sekitar 11.600 tahun yang lalu, masih terdapat sejumlah komunitas penduduk yang sempat menyelamatkan diri dengan mengungsi. Di kawasan yang baru, mereka melahirkan aneka bentuk peradaban baru yang bertebaran pada semua pulau besar dan sebahagian pulau kecil yang berada di kawasan yang disebut Asia Tenggara dan Nusantara ini hingga ke Asia daratan.

Sebelum Peradaban Atlantis berkembang dan mengalami kehacuran, juga telah ada peradaban sebelumnya, yakni Peradaban Lemuria atau Mu disekitar tahun 75000 SM – 11000 SM. yang masih sempat hidup bersama selama ribuan tahun lamanya dengan Peradaban Atlantis. Kedua peradaban yang masih berkaitan masa dan generasi ini, secara geografis hidup berdekatan, yakni Peradaban Atlantis berpijak di atas kawasan Asia Tenggara dan Peradaban Lemuria bertapak di atas Samudera Pasifik. Kedua peradaban besar ini mengalami kehancuran akibat bencana banjir besar. Pemikiran tentang hal ini antara lain berasal dari Augustus Le Plongeon (1826-1908), seorang peneliti dan penulis pada abad ke-19 yang mengadakan penelitian terhadap situs-situs purbakala peninggalan Bangsa Maya di Yucatan. Keberhasilannya menerjemahkan beberapa lembaran catatan kuno peninggalan Bangsa Maya memberikan gambaran bahwa Bangsa Lemuria memang berusia lebih tua daripada peradaban leluhur Bangsa Maya yang merupakan Manusia Atlantis. Keadaan Lemuria digambarkan sangat mirip dengan peradaban Atlantis, memiliki tanah yang subur, masyarakat yang makmur dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang mendalam sehingga berkembang pesat menjadi sebuah peradaban yang maju.

Para ahli kemudian mengungkapkan bahwa semua bangsa-bangsa Ras Nusantara yang ada sekarang adalah berasal dari satu keturunan generasi manusia purba Meganthropus Paleo Nusantaraicus dan generasi-generasi Hominid dan Homo lainnya yang fosil-fosilnya telah ditemukan di berbagai pulau dan daerah yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Jika hipotesis tentang Lemuria dan Atlantis ini benar maka sangat sulit untuk membantah bahwa bangsa-bangsa Ras Nusantara sejak zaman yang lampau hingga saat ini berasal dari Manusia-manusia Lemuria dan Atlantis.

Dalam buku “Eden in the East: The Drowned Continent Asia Tenggara”, Dr Stephen Oppenheimer menulis tentang pengaruh yang besar akibat tenggelamnya benua ini. Hal ini terjadi selama periode 15.000 hingga 7.000 tahun yang lalu. Beliau menguraikan bahwa banjir besar tiga periode tersebut telah menenggelamkan Sundaland nama lain dari benua Atlantis dan menciptakan pulau Jawa dan Laut Cina Selatan serta ribuan pulau yang membentuk Indonesia dan Filipina saat ini. Beliau juga menegaskan bahwa akibat banjir besar tersebut telah terjadi migrasi dari kawasan Asia Tenggara ke Asia daratan.

Studi lain yang digerakkan oleh Universitas Leeds dan diterbitkan pada bulan Mei 2008: “Molecular Biology and Evolution” membuktikan bahwa sebagian besar dari garis-garis DNA mitokondria (diwarisi oleh keturunan perempuan) telah berkembang di kawasan Asia Tenggara untuk jangka waktu yang lebih lama, yakni sejak manusia modern tiba sekitar 50.000 tahun yang lalu. DNA menunjukkan garis keturunan penduduk pada waktu yang sama dengan naiknya permukaan laut dan juga menunjukkan migrasi ke timur yakni New Guinea dan Pasifik, dan ke barat yakni daratan Asia Tenggara termasuk Taiwan, selama 10.000 tahun terakhir.

Ahli lainnya juga telah mengungkapkan bahwa leluhur bangsa-bangsa Asia sebelumnya berasal dari Afrika, yakni sekitar 100.000 tahun lalu. Mereka meninggalkan Afrika lalu menyusuri sepanjang pesisir selatan ke arah timur dan lebih dulu berpusat di Asia Tenggara sekitar 60.000 tahun lalu. Setelah itu mereka menyebar ke berbagai kawasan utara di Asia. Hal ini antara lain dikemukakan oleh Prof Dr Sangkot Marzuki (Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman) yang membantah bahwa bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan sebagaimana pendapat yang berkembang sebelumnya.

Beliau membuktikan teorinya dengan menunjukkan penyebaran genetik yang makin ke selatan semakin heterogen, dan makin ke utara semakin homogen. Riset yang memakan waktu tiga tahun dan telah dirilis di Jurnal Science pada 10 Desember 2009 dengan judul: “Mapping Human Genetic Diversity in Asia” tersebut dilakukan oleh lebih dari 90 ilmuwan dari konsorsium Pan-Asian SNP (Single-Nucleotide Polymorphisms) dinaungi Human Genome Organization (Hugo) yang meneliti 73 populasi etnik Asia dengan menggunakan sekitar 2.000 sampel di 10 negara (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, India, China, Korea, Jepang, dan Taiwan).

Ribuan tahun pasca bencana alam besar, manusia-manusia Atlantis tersebut telah membangun dan mengembangkan peradabannya masing-masing menjadi komunitas-komunitas bertuan dalam bentuk negara kerajaan. Negara-negara kerajaan kecil dan besar tersebut kemudian mengembangkan dan membuka pelayaran dan perdagangan antar pulau Nusantara dan dengan negeri-negeri luar Nusantara. Komoditi yang mereka perdagangkan antara lain adalah: padi-padian, emas, perak, timah, rempah-rempah, alat-alat besi, perunggu, gading gajah dan lain-lain.

Sekitar tahun 1500 – 1000 SM, bangsa-bangsa Ras Atlantis atau Sunda Land atau Nusantara telah melakukan kontak dagang dengan berbagai negara lain seperti Damaskus yang pada waktu itu dibawah pemerintahan Nabi Sulaeman (King of Solomon) yang sudah merupakan pusat perdagangan rempah-rempah yang didatangkan dari kawasan Nusantara lewat jalan laut ke Kwang Tung (Kanton) di negeri Cina, terus lewat jalan darat (jalan sutera) ke Damaskus.

Raja Sulaeman (Salomon) mengutus orang-orang Phoenesia dari Sidon untuk membeli kamper (kapur Barus) dan kemenyan di pelabuhan Singkil dan Barus Sumatera guna memenuhi kebutuhan bangsa-bangsa Hemitik dan Semitik (Arab) di Timur Tengah dan Mesir Kuno. Para pedagang bangsa Phoenesia sebelum zaman Rumawi dan Yunani telah datang ke Pelabuhan Natal untuk membeli emas yang daerah pertambangannya di Mandailing, Tanah Batak Selatan.

Demikian pula pulau-pulau Nusantara lainnya dapat dipastikan telah dikunjungi oleh para pedagang internasional yang mencari komoditi kebutuhannya ke sumber asal produksinya, seperti rempah-rempah dari Maluku dan besi dari Sulawesi yang manusia dan sejarah kehidupannya akan menjadi fokus pembahasan dalam draft pengantar diskusi ini.

Diperkirakan bahwa jauh sebelum kelender miladiyah berlaku, kawasan Teluk Bone dan Tappareng Karaja telah menjadi ajang perdagangan, tempat transit dan pintu gerbang ke “Jazirah al-Mulk” (sebutan saudagar Arab terhadap Maluku) yang merupakan kerajaan semenanjung pada pulau Ternate, Ambon dan Banda yang oleh tabib Portugis, Tome Pirez dalam bukunya “Summa Oriental” disebut sebagai “The Spices Island” (Pulau Rempah) dan oleh imprealis Belanda disebut “The Three Golden from The East” (Tiga Emas dari Timur). Berbagai jenis logam dan rempah-rempah (serta kemudian budak) sejak zaman Mesir Kuno telah menjadi komoditi ekonomi penting yang banyak bersumber di Benua Kepulauan ini.

Penamaan atas Pulau Sulawesi yang diperkirakan oleh para pakar telah dihuni manusia sejak 30.000 tahun yang lalu, minimal terdapat dua versi. Pertama berasal dari kata “sula” yang berarti “pulau” dan “wesi” yang berarti “besi”, Sulawesi berarti “pulau besi”. Penamaan yang kedua berasal dari kata “selle” yang berarti “sesuatu yang diselipkan (dipinggang)” dan “bessi” yang berarti “besi”, Sulawesi berarti “pulau yang penduduknya selalu menyelipkan besi (kawali, tappi’, dan sebutan lainnya) di pinggang”. Terlepas dari benar tidaknya, kedua pengertian di atas minimal menunjukkan bahwa Sulawesi sebagai pulau yang identik dengan besi. Hal ini sejalan dengan realitas historis yang berkembang bahwa sejak dahulu kala Sulawesi merupakan daerah penghasil besi dan manusianya selalu menyelipkan senjata (besi) di pinggang. Besi Sulawesi yang penambangan dan pengolahannya berpusat di Lembah Sungai Ussu merupakan salah satu komoditi andalan kawasan Teluk Bone dan Tappareng Karaja yang memasok kebutuhan besi dan nikel negara-negara kerajaan lainnya di Pulau Jawa, Pulau Sumatera dan lain-lain, jauh sebelum lahirnya Negara dan Bandar Niaga Gowa dan Tallo yang pada waktu itu masih berupa kampung nelayan yang kadang disinggahi untuk mengambil perbekalan air tawar.

Para saudagar Arab yang telah berniaga di Benua Nusantara hingga memasuki kawasan Teluk Bone dan Tappareng Karaja menyebut Sulawesi sebagai “Sholibis”. Sedangkan imprealis Eropa (Belanda, Portugis, Spanyol dan lainnya) menyebutnya dengan nama “Celebes”. Hingga saat ini pulau Sulawesi masih kaya bahan tambang yang meliputi besi, tembaga, emas, perak, nikel dan lain-lain yang sejak awal telah menjadi profesi teknologis penduduknya dan telah menjadi komoditi ekonomi yang strategis politis dalam konteks hubungan perdagangan internasional pada waktu itu.

Manusia Toraja, Wotu, Pamona, Topadoe, Tolaki, Kaili dan penghuni Dataran Tinggi lainnya merupakan manusia-manusia penghuni awal Pulau Sulawesi yang sangat mungkin adalah sisa-sisa manusia Atlantis yang kemudian berbaur dengan imigran dari Asia Daratan (Proto Melayu) yang sebelumnya juga adalah sangat mungkin Manusia Atlantis. Proses interaksi dan akulturasi mereka yang panjang membuahkan peradaban awal di Dataran Rendah Lembah Sungai Ussu. Pengaruh Peradaban Lembah Sungai Ussu pada waktu itu minimal melingkar sepanjang lengkungan pesisir Teluk Bone, menyusur Sungai Cenrana hingga sepelingkar Tapareng Karaja yang di sebelah baratnya disebut Ajang Tappareng, menyusur sungai Sa’dang yang melintas “Massenrengpulu” (Lembah-Lereng Kaki Gunung Bambapuang) hingga ke Tana Toraja “Tondok Lili'na Lapongan Bulan Tana Matari'allo” (Negeri yang bulat seperti Bulan dan Matahari) dan juga tembus menyisir pesisir Selat Makassar. Lainnya ke utara, menyebar ke berbagai ekosistem pada berbagai kawasan di jantung Pulau Sulawesi hingga ke Tompo Tikka (sekarang Luwuk Banggai Sulawesi Tengah), Lipu’ Wadeng (yang meliputi Gorontalo dan Sulawesi Utara), Negeri Wolio (yang meliputi Buton, Muna dan kepulauan satelitnya) dan lain-lain.

Proses perkembangan Peradaban Lembah Sungai Ussu dinahkodai oleh tampuk kekuasaan Kerajaan Luwu yang berpusat di Ware’. Meskipun Kerajaan Luwu bukan merupakan kerajaan tertua melainkan kerajaan yang seusia dan setara dengan kerajaan tua atau awal lainnya tapi dengan kepemimpinan yang baik, Batara Guru mampu menyatukannya. Batara Guru Puang-na/Opungna Ware’ yang diduga kuat adalah keturunan penguasa pegunungan (Rante Kambola?) yang disebut To Di Langi’ merupakan penguasa pertama yang menghimpun dan mengatur berbagai tata pemerintahan tradisional yang tersebar di kawasan pengaruhnya yang masih mengabaikan batas geografis administratif. Tata Pemerintahan Tradisional (TPT) tersebut tersebar di berbagai wilayah komunitas etnik (Toraja, Wotu, Pamona, Topadoe, Tolaki dan lain-lain) dalam bentuk komitmen persahabatan, persaudaraan, per-anak-an atau pertuanan politik kepada Batara Guru, Yang Dipertuan di Ware’.

TPT yang terbentuk antara lain adalah Tata Pemerintahan Makole, Tata Pemerintahan Maddika, Tata Pemerintahan Arung, Tata Pemerintahan Addaowang, Tata Pemerintahan Datu/Addatuang, Tata Pemerintahan Matowa/Macowa, Tata Pemerintahan Mara’dia dan berbagai turunannya masing-masing bertumbuh dengan baik seiring dengan kedatangan kelompok imigran baru Deutro Melayu yang datang dari Yunan. Kedatangan imigran baru yang juga diduga kuat keturunan Manusia Atlantis ---dengan tingkat pengetahuan dan skill yang berbeda--- membawa berbagai perubahan yang berakibat pada timbulnya berbagai proses seleksi sosial kultural. Hal ini menuntun dan bahkan memaksa masyarakatnya yang beragam komunitas tersebut memilih profesi sesuai dengan kecenderungan, minat, bakat dan bahkan wilayah domisilinya masing-masing.

Pada umumnya, masyarakat ---secara individu atau kolektif--- yang relatif masih statis dan masih agak koservatif memilih berdomisili di ekosistem dataran tinggi dengan aktivitas yang lebih dominan pada produksi bahan pangan dan kerajinan serta berbagai kepandaian lainnya. Sedangkan yang dinamis dan modernis memilih berdomisili di ekosistem dataran rendah dengan mengembangkan berbagai aktivitas perdagangan dan jasa serta lainnya. Lalu atas berbagai motif, alasan dan tujuan, kedua komunitas berbeda ekosistem yang sedang berkembang tersebut menciptakan pilihan ketiga sebagai konsekuensi dan solusi atas laju perkembangannya dalam bentuk pelayaran niaga (perdagangan) dan perantauan ke seberang lautan yang penuh harapan.

Latar historis seperti inilah yang membentuk apa yang disebut kosmogoni Manusia Bugis dalam tiga ranah yang cenderung dimaknai secara harfiah, yakni Boting Langiq sebagai kehidupan di langit atau Dunia Atas, Ale Kawaq sebagai kehidupan di bumi atau Dunia Tengah dan Buriq Liu sebagai kehidupan bawah tanah/laut atau Dunia Bawah.

Kosmogoni tersebut sebagaimana termaktub dalam Kitab Lontaraq La Galigo, sebenarnya akan lebih realistis, rasional dan fungsional jika ditafsirkan sesuai dengan proses pembentukannya secara sosial budaya sepanjang sejarahnya. Penafsiran atas apa yang disebut kosmogoni tersebut tidaklah menjadi ahistoris jika dimaknai sebagai berikut:
a. Boting Langiq dimaknai sebagai Ekosistem Dataran Tinggi dan bukan sebagai kehidupan di langit;
b. Ale Kawaq dimaknai sebagai Ekosistem Dataran Rendah dan bukan sebagai kehidupan di bumi secara keseluruhan;
c. Buriq Liu dimaknai sebagai Ekosistem Laut dan Rantau dan bukan sebagai kehidupan di bawah tanah atau di bawah laut.

Penafsiran atau pemaknaan seperti ini diniscayakan dapat menghindari bentuk-bentuk pendongengan sejarah, mistifikasi peristiwa, bias penerjemahan dan pemaknaan sastra Kitab Lontaraq La Galigo serta bias rentang waktu penggunaan bahasa yang berpotensi menimbulkan mitologi yang absurd, sekaligus amnesia sejarah bagi generasi pewarisnya.

Penafsiran atau pemaknaan ini diharapkan dapat menghubungkan dan menempatkan subyek dan obyek secara harmonis dan realistis sehingga betapapun tebalnya lapis waktu yang telah terpintal dalam memori sejarah senantiasa dapat terekam oleh prilaku dan kelembagaan pewarisnya hari ini, tanpa beban anakronisme yang berarti.

I. Tatanan Masyarakat Boting Langiq (Ekosistem Dataran Tinggi)

Dampak dari kedatangan imigran baru yang memiliki tingkat pengetahuan dan skill yang berbeda membawa berbagai perubahan yang berakibat pada timbulnya proses seleksi sosial kultural. Sebagian Masyarakat Ware’ dan TPT satelit-satelitnya ---secara individu atau kolektif--- yang terdiri atas Manusia Toraja, Wotu, Pamona, Topadoe, Tolaki dan lain-lain yang terbebani proses seleksi sosial kultural, masing-masing menghimpun diri merambah kawasan baru atau kembali ke habitat asalnya di dataran tinggi yang lebih sesuai dengan kecenderungan agraris dan kemampuan adaptifnya. Proses migrasi lokal (remigrasi) yang evolusioner itu, selain mempengaruhi aktivitas, corak dan tradisi, juga semakin mengentalkan kesamaan latar dan primordialitas masyarakatnya.

Sebagai contoh, Manusia Toraja yang terjebak pada pilihan migrasi lokal ini semakin ‘menoraja’ mendekat kembali ke dataran tinggi di arah barat menjauh dari lembah Sungai Ussu, pusat kekuasaan Ware’ di sebelah timur. Hal ini tergambar dengan baik pada penamaannya sebagai Toraja yang berasal dari kata “To” yang berarti “Manusia” dan kata “Riaja” yang berarti “di sebelah barat”, di mana Toraja diartikan sebagai manusia yang berdomisili di sebelah barat Ware’

Di habitat awalnya, ----di kawasan hulu sungai Sa’dang tempat leluhurnya berbaur dengan imigran China dari Teluk Tongkin (yang juga diduga generasi Atlantis) berlabuh dan bermukim----- mereka menguatkan kembali peradabannya dan mengentalkan identitasnya sebagai sebuah masyarakat adat “Tondok Lili'na Lapongan Bulan Tana Matari'allo” yang berpegang pada “Aluk Todolo” yang diwarisinya turun-temurun, meski secara politik tetap berafiliasi pada Opung’na Ware’. Kebesaran adat dan peradaban yang dikembangkannya tersebut diidentifikasi sesuai dengan versi penamaan Toraja lainnya yang berasal dari kata “tau” atau “to” yang berarti “manusia” dan “raja” atau “raya” yang berarti “besar”, yang mengartikan “Toraja” sebagai manusia yang berperadaban besar.

Demikian pula dengan komunitas adat lainnya seperti Manusia Wotu, Seko, Pamona, Topadoe, Tolaki, Kaili, Massenrengpulu dan lain-lain berpacu mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan adaptifnya secara berbeda dengan kecenderungan dan semangatnya masing-masing di pemukiman dataran tinggi.

II. Tatanan Masyarakat Ale Kawa (Ekosistem Dataran Rendah)

Manusia-manusia Toraja, Wotu, Pamona, Topadoe, Tolaki dan lain-lain yang secara sengaja atau tidak, bertahan di dataran rendah, ----terutama di wilayah Ware’ dan sekitarnya--- berbaur dengan para imigran baru. Mereka mengembangkan diri secara sosial kultural dengan berbagai aktivitas perdagangan dan jasa serta lainnya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kekotaan wilayah domisilinya di dataran rendah. Dari pergumulan dan akulturasi yang panjang antara manusia-manusia Luwu, Toraja, Wotu, Pamona, Topadoe, Tolaki dan lain-lain beserta dengan kaum imigran baru (yang disebut Deutro Melayu) dari etnik Bugi-Rhama salah satu etnis terbesar di perbatasan Burma (Orang Bersarung) dan Chyan-maa (Thailand) kemudian melahirkan sebuah entitas manusia baru yang disebut Manusia Bugis (To Ugi’). Kedatangan Bugi-Rhama dimulai pada periodisasi Petta La (Pattalo) Bunga (Pong Battoraya) atau pada dinasti kedua Kerajaan Luwu sekitar tahun 1000 M. yang juga hampir bersamaan dengan kedatangan imigran Benggali dan Campa di daerah yang sekarang ini dihuni Manusia Mandar. Para pendatang baru yang juga diduga merupakan generasi manusia Atlantis itu menyebar ke berbagai kawasan dataran rendah yang berada dibawah pengaruh Negara Kerajaan Luwu, termasuk tentunya ke sebuah negeri yang dalam Kitab La Galigo disebut Cina yang dipimpin oleh La Sattumpugi (mertua sekaligus paman dari Sawerigading). Negeri La Sattumpugi yang kemudian dipimpin oleh putrinya We Cudaiq (Istri Sawerigading) yang bergelar Daeng Ri Sompa, Datunna Cina, Datunna Tana Ugi’ inilah yang merupakan cikal bakal kekuasaan Manusia Bugis (To Ugi’) yang meski sampai saat ini titik lokasinya masih diperdebatkan tapi telah menjadi kekuatan penggerak awal dan utama dalam mengembangkan Tatanan Masyarakat Ale Kawa (Ekosistem Dataran Rendah) di seantero Pulau Sulawesi, Asia Tenggara dan sekitarnya.

Seiring dengan melemahnya Negara Kerajaan Luwu dan semakin berkembang dan menguatnya berbagai Tatanan Masyarakat Ale Kawa lainnya. Komunitas-komunitas yang awalnya hanya berupa Tata Pemerintahan Tradisional tersebut menguat dengan sendiri-sendiri atau berkolaborasi membentuk negara kerajaan (seperti TPT Talo’ Tenreng, TPT Betteng Pola, TPT Tuwa’ yang berkonfederasi membentuk Negara Kerajaan Wajo) yang pada akhirnya menyamai atau bahkan melampaui kebesaran induknya. Demikian pula Bone, membentuk Negara Kerajaan Bone dan Soppeng membentuk Negara Kerajaan Soppeng lalu ketiganya bersumpah setia mengadakan perjanjian kerjasama dalam suatu asosiasi antar negara yang disebut TellumpoccoE. Proses merger antara berbagai TPT tersebut melahirkan sejumlah negara baru yang berbentuk kerajaan melalui berbagai perjanjian antara negara.

Tatanan Masyarakat Ale Kawa, antara lain meliputi:
1. Ekosistem Dataran Rendah TelumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo);
2. Ekosistem Dataran Rendah Ajang Tappareng (Sidenreng, Rappang, Sawitto, Suppa dan Alitta);
3. Ekosistem Dataran Rendah Wolio;
4. Ekosistem Dataran Rendah Wadeng;
5. Ekosistem Dataran Rendah Siang;
6. Ekosistem Dataran Rendah Balangnipa;
7. Ekosistem Dataran Rendah Bantaeng;
8. Ekosistem Dataran Rendah Gowa-Tallo;
9. dan lain-lain.

III. Tatanan Masyarakat Buriq Liu (Ekosistem Laut dan Rantau)

Atas berbagai motif dan tujuan, “Masyarakat Boting Langiq” dan “Masyarakat Ale Kawa” yang sedang berkembang tersebut menciptakan pilihan ketiga sebagai konsekuensi dan solusi atas laju perkembangannya yang disebut “Masyarakat Buriq Liu” dalam bentuk pelayaran niaga (perdagangan) dan perantauan ke seberang lautan yang penuh tantangan dan harapan. Secara umum, motif dan tujuan perantauan Manusia Bugis ke “Buriq Liu” (Negeri Seberang) tersebut minimal adalah motif ekonomi dan politik. Daerah tujuannya antara lain meliputi:

1. Rantau Jawa, Sunda dan sekitarnya
Pulau Jawa dahulu dikenal dengan nama Jawa Dwipa yang berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “Pulau Padi” sebagaimana disebut dalam epik Hindu Ramayana. Ptolomeus, Ahli geografi Yunani juga menyebutkan dalam tulisannya adanya “Negeri Emas” dan “Negeri Perak” serta antara lain pulau ”Labadiu” yang berarti “Pulau Padi”. Menurut Ptolomeus bahwa di ujung barat Pulau Labadiou terdapat sebuah negeri yang bernama Argyre (Kota Perak) yang dihubungkan dengan kerajaan Salakanagara (“Salaka” diartikan perak, sedangkan “nagara” diartikan kota) pada zaman Sunda Kuno. Salakanagara dalam sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajatapura. Sedangkan dalam Kitab La Galigo disinyalir disebut Sundra yang dibagi menjadi 2 yaitu Sundra Rilau (Sunda Timur atau mungkin Sunda Kecil yang mencakup gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba dan Timor) dan Sundra Riaja (Sunda Barat atau mungkin Sunda Besar yang meliputi pulau besar yang terdiri dari Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan). Kawasan ini dalam Kitab La Galigo disebutkan sebagai daerah-daerah yang pernah dikunjungi Sawerigading.

2. Rantau Kalimantan
Pulau terbesar ketiga di dunia ini sebelumnya bernama Warunadwipa yang artinya Pulau Dewa Laut. Dalam naskah Jawa Kuno, Kalimantan disebut Nusa Kencana. Sedangkan Orang Melayu menyebutnya Pulau Hujung Tanah. Oleh kolonial Inggris dan Belanda Kalimantan disebut Borneo. Nama Borneo atau juga yang telah menjadi nama sebuah negara saat ini (Brunei Darussalam) diduga kuat oleh berbagai pihak berasal dari bahasa Makassar, yakni dari kata “Bori’” yang berarti “negeri” dan dari kata “Nai” yang berarti “naik atau bergerak ke atas” yang diartikan sebagai “negeri yang bisa dicapai dengan pelayaran melawan arus”.

3. Rantau Sumatera
Sumatera dalam bahasa Sansekerta dinamai Suwarnadwipa (Pulau Emas) atau Suwarnabhumi (Tanah Emas) yang telah digunakan dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Selain itu Sumatera juga dikenal sebagai pulau Andalas dan Samotra (Samodera). Di Sumatera ini pula berdiri Negara Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan yang memiliki pengaruh hingga ke Thailand dan Kamboja di utara dan hingga Maluku di timur. Oleh berbagai pihak, Negara Kerajaan Sriwijaya ini diduga sebagai daerah yang disebut Senrijawa dalam Kitab La Galigo.

4. Rantau Maluku dan sekitarnya
Maluku memiliki nama asli “Jazirah al-Mulk” yang artinya kumpulan kerajaan semenanjung yang dikenal dengan kawasan Seribu Pulau serta memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang berlimpah. Pada masa lalu wilayah Maluku seperti Ternate dikenal sebagai penghasil rempah-rempah seperti cengkeh dan pala. Cengkeh adalah rempah-rempah purbakala yang telah dikenal dan digunakan ribuan tahun sebelum masehi. Dalam kitab La Galigo, Negeri Terenati yang diduga Ternate disebut sebagai tempat perantauan Sawerigading. Demikian pula dengan negeri yang disebut Sawangmegga’ dalam Kitab La Galigo diduga berada di gugusan kepulauan Maluku ini.

5. Rantau Malaka, Kepulauan Riau dan sekitarnya
Malaka yang kawasannya sekarang ini telah menjadi Malaysia pernah menjadi bandar niaga internasional dan selalu berganti tuan juga merupakan daerah rantau (Boriq Liu) bagi manusia Bugis. Demikian pula dengan Kepulauan Riau dan sekitarnya tidak luput dari penambatan perahu manusia-manusia Bugis. Hal ini menjadi tidak mengherankan kemudian jika sejumlah tokoh politik, bisnis dan pemeritahan di Malaysia dan Kepulauan Riau dipegang oleh generasi manusia Bugis. Sebagai contoh yang dapat disebutkan adalah fakta bahwa dari sembilan raja yang memerintah di Malaysia dewasa ini, ternyata pada umumnya merupakan keturunan Negara Kerajaan Luwu, yakni We Tenri Leleang yang memerintah pada peride ke-26 dan ke-28.

Kehidupan Manusia Bugis sebagaimana yang telah diulas merupakan pergerakan dan pergolakan siklus dialektis tiga ranah, yakni:
- Boting Langiq (Ekosistem Dataran Tinggi) sebagai tesis;
- Ale Kawa (Ekosistem Dataran Rendah) sebagai antitesis;
- Buriq Liu (Ekosistem Laut dan Rantau) sebagai sintesis.

Siklus dialektis ini bergelora dan berkecamuk secara berkesinambungan dan berkelanjutan sepanjang aliran waktu dan sejarah peradaban Manusia Bugis hingga hari ini.
======================

Daftar Sumber Lisan:
a. Ambo Illang Dg. Marala (al-Marhum), Tanasitolo – Wajo – Sulawesi Selatan;
b. Drs. Andi Sangkuru, M.Si, Makassar – Sulawesi Selatan;
c. H. Abd. Salam Mas’ud (al-Marhum), Tosora – Wajo – Sulawesi Selatan;
d. Andi Sinring, Pammana – Sulawesi Selatan.
e. Muh. Marwan R. Hussein, Makassar – Sulawesi Selatan;
f. Ikrar “Opu” Idrus, Makassar – Sulawesi Selatan;
g. Armin Mustamin To Putiri, Makassar – Sulawesi Selatan;

Daftar Sumber Tertulis:
a. http://sains.kompas.com/read/2009/12/12/13074299/Nenek.Moyang.Bangsa.Asia.dari.Asia.Tenggara
b. http://www.ox.ac.uk/media/news_releases_for_journalists/080523.html
c. http://artshangkala.wordpress.com/2009/10/25/ras-nusantara/
d. www.metasains.com/2010/02/mencari-jejak-la-galigo/
e. www.scribd.com/.../I-La-Galigo-Epic-Bugis-Indonesia-Legend-Myths-Epic
f. www.forumbudaya.org/index.php?option=com...task
g. http://id.wikipedia.org/wiki/La_Galigo
h. http://www.sinarharapan.co.id/hibura...0327/bud2.html
i. www.topblogarea.com/sitedetails_40297.html
j. http://id.wikipedia.org/wiki/Lumeria
k. http://blitar.org/blitar/kab.php
l. http://misteridunia.files.wordpress.com
m. Abidin, Andi Zainal, 1983, Persepsi orang Bugis Makassar tentang Hukum, Negara, dan Dunia Luar, Alumni, Bandung.
n. Alfian (Ed), 1985 Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan, Gramedia, Jakarta.
o. Ali, A. Muh. 1969, Bone Selayang Pandang, Kantor Daerah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kabupaten Bone.
p. Kartodirdjo, Sartono. 1987, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, I, Gramedia Jakarta.
q. Mattata, H.M. Sanusi Daeng, 1957, Luwu dalam Revolusi, Yayasan Pembangunan Asrama IPMIL, Luwu.
r. Mattulada, 1982, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, Bhakti Baru -Berita Utama, Ujung Pandang.
s. Mukhlis (Ed). 1986, Dinamika Bugis - Makassar, PLPIIS - YIIS, Makassar.
t. Notosusanto, Nugroho, 1979, Sejarah Demi Masa Kini, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
u. Patunru, Abdurrazak Daeng, 1964, Sejarah Wajo, YKSST Makassar
v. Patunru, Abdurrazak Daeng, 1967, Sejarah Gowa, YKSST Makassar
w. Tandilangi, Puang Paliwan, 1969, Pitu Ulunna Salu Pitu Babana Binanga Karua Taparitti′na Wae, Bingkisan YKSST, No. 1-2, Makassar.

Senin, 10 Mei 2010

Manusia Cerekang, Ayat Yang Terabaikan

Cerekang, sebuah kampung kecil di kaki Gunung Pensemoni, tepatnya di Desa Manurung Kabupaten Luwu Timur, sangat dikenal bagi pemerhati Budaya Bugis Kuno. Dalam berbagai sumber terutama dalam Kitab I Lagaligo, kampung ini di yakini sebagai tanah pertama yang di sentuh manusia pertama yang di turunkan dari langit (Boting Langi') yaitu Batara Guru. Sebagai Putra Mahadewa, Batara Guru mengawali sejarah panjang Manusia Bugis dengan mengelola alam dan mengatur negara pertama. Cerekang menjadi simbol ke-pertama-an Bugis. Batara Guru menjadi pemimpin yang menjamin keseimbangan duniawi dan pengabdian kepada alam dan Sang Penguasa Alam. Batara Guru membolehkan bercocok tanam tanpa merusak alam, membolehkan makan daging binatang dan ikan tanpa membuat hewan binasa dan tanpa membuat air sungai keruh. Kedamaian manusia terlindungi dari kekacauan dan saling melecehkan sehingga melahirkan generasi andalan yang bisa menjadi panutan bagi manusia berikutnya. Organisasi masyarakat di atur sedemikian rupa sehingga fungsi fungsi kemanusiaan tertata baik. Semua kelas manusia memiliki pemimpin yang terpercaya. Petani memiliki penghulu Pertanian, Nelayan memiliki pemimpin dalam usaha perikanan. Penjaga Moralitas masyarakat di serahkan kepada Pua'. Pua' ini menjadi sumber informasi dari Penguasa Langit dan satu satunya lembaga yang menghubungkan bumi (dunia tengah) dengan dunia langit. Kepatuhan dan kepatutan manusia terhadap aturan langit sangat di jaga melalui perantara Pua'. Pua' menerima kabar dan kehendak Sang Penguasa Kehidupan dan menterjemahkan berupa aturan yang mengikat tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Pua' menjadi gerbang permintaan dan permohonan hamba kepada Tuhannya.

Ratusan bahkan Ribuan tahun berlangsung bersama kepatuhan, keteraturan dan kepatutan. Sekian banyak pemimpin lahir dan terinspirasi dari kebesaran nama Tanah Cerekang. Sawerigading dan I La Galigo menjadi tokoh kebanggaan Manusia Bugis yang sudah menyebar di seluruh belahan bumi, menjadi simbol yang kuat. Bahkan beberapa manusia pintar dan beruntung, yang hidup sangat jauh dari Cerekang, menjadi fenomenal karena tanah ini. Yang jauh dan tidak pernah menginjakkan kaki di Cerekang mengambil tuah dan hikmah. Banyak sarjana besar berjaya hanya karena mereka menulis secuil kisah dari Cerekang.

Apa yang terjadi sekarang di Cerekang???. Kebesaran masa lalu hampir terlupakan dan terlecehkan.

Pua' Cerekang dari tokoh agung menjadi sekedar bahan pelajaran kebesaran masa lalu. Tidak jarang manusia sekarang menganggap Pua' adalah bahan lelucon bahkan bahan cibiran yang sangat tidak terpercaya. Pua' Cerekang masih ada, orangnya masih ada sampai sekarang, akan tetapi Beliau berada pada posisi termarginalkan. Dalam banyak kesempatan seminar dan lokakarya Pua' Cerekang menjadi bahan seminar yang berkilau, semua merasa dekat dengan Cerekang ketika masih berada dalam forum seminar. Akan tetapi, setelah forum diskusi selesai, maka selesai pula kebanggaan itu. Keberadaan Pua' Cerekang sama persis dengan Imam Mesjid yang di butuhkan hanya ketika pada saat lebaran atau ada warga yang meninggal dunia. Atau di butuhkan saat manusia manusia dalam kesusahan, di butuhkan hanya pada saat butuh pertolongan melalui doa. Walaupun entah karena Pua', setelah kesusahan berlalu berganti kesenangan, orang yang sebelumnya membantu membangkitkan motivasi spiritual itu di biarkan seakan akan tidak punya arti apa apa. Tragis memang manusia sekarang, karena hidup di belakang akhirnya menjadi terbelakang.








Selasa, 20 April 2010

Sejarah Luwu Timur

Kerinduan masyarakat di wilayah eks Onder-afdeling Malili atau bekas Kewedanaan Malili, untuk membentuk suatu daerah otonom sendiri telah terwujud. Kabupaten Luwu Timur yang terbentang dari Kecamatan Burau di sebelah barat hingga Kecamatan Towuti di sebelah timur, membujur dari Kecamatan Mangkutan di sebelah utara hingga Kecamatan Malili di sebelah selatan, diresmikan berdiri pada tanggal 3 Mei 2003.

Dalam perjalanan panjang pembentukan kabupaten ini, terangkai suka dan duka bagi para penggagas dan penginisiatif yang akan menjadi kenangan yang tak akan terlupakan sepanjang masa. Semuanya telah menjadi hikmah yang dapat dipetik pelajaran dan manfaat tak ternilai guna kepentingan membangun daerah ini di masa depan. Secara kronologis, sekilas perjalanan panjang itu, dapat dilukiskan sebagai berikut:

I. Kisaran Tahun 1959
Pada Bulan Januari Tahun 1959, situasi ketentraman dan keamanan pada hampir seluruh kawasan ini, sangat mencekam dan memprihatinkan akibat aksi para gerombolan pemberontak yang membumihanguskan banyak tempat, termasuk kota Malili. Peristiwa ini, secara langsung melahirkan semangat heroisme yang membara, khususnya di kalangan para pemuda pada` waktu itu, untuk berjuang keras dengan tujuan membangun kembali wilayah eks Kewedanaan Malili yang porak poranda. Gagasan pembentukan kabupaten pun merebak dan diperjuangkan secara bersungguh-sungguh. Sebagai dasar utamanya, secara sangat jelas termaktub dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan (L.N. 1959 Nomor 74 TLN Nomor 1822) yang mengamanatkan bahwa semua Daerah Eks Onder-Afdeling di Sulawesi Selatan, termasuk di antaranya bekas Kewedanaan Malili akan ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten. Namun pada realitas, ternyata terdapat 3 Daerah Ex Onder Afdeling yakni Malili, Masamba dan Mamasa belum dapat diwujudkan pembentukannya, terutama disebabkan karena alasan situasi keamanan yang belum memungkinkan pada waktu itu.

II. Kisaran Tahun 1963
Harapan kembali berkembang, ketika dikeluarkan Resolusi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD –GR) Daerah tingkat II Luwu di Palopo, Nomor 7/Res/DPRD-GR/1963 tanggal 2 Mei 1963, yang menyetujui Ex Onder Afdeling Malili menjadi Kabupaten. Kemudian, sebagai perkembangannya, dikeluarkanlah Resolusi Nomor 9/Res/DPRD-GR/1963 yang memutuskan untuk meninjau kembali Resolusi Nomor 7/Res/DPRD-GR/1963 tersebut, sehingga terdapat konsiderans yang berbunyi sebagai berikut: “……mendesak Pemerintah Pusat RI Cq. Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah agar membagi Dati II Luwu menjadi 4 Dati II yang baru terdiri dari Dati II Palopo, Dati II Tanah Manai, Dati II Masamba dan Dati II Malili”.

III. Kisaran Tahun 1966
Berdasarkan laporan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan pada sidang seksi Pemerintahan V tanggal 2 Mei 1966, dihasilkan kesimpulan sepakat untuk menyetujui tuntutan masyarakat Ex Kewedanaan Malili menjadi Daerah Tingkat II dengan nama Kabupaten Malili dengan Ibukota di Malili. dilanjutkan pada Paripurna VI DPRD Propinsi Sul-Sel tanggal 9 Mei 1966 disetujui Ex Kewedanaan Malili menjadi Kabupaten. Lahirnya keputusan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran kalangan mahasiswa yang berasal dari wilayah Eks Kewedanaan Malili, dimana secara bersama-sama kalangan muda tersebut dengan penuh semangat mendesak DPRD Propinsi Sulawesi Selatan untuk merekomendasikan pembentukan Kabupaten di Wilayah Eks Kewedanaan Malili. Keputusan itu disikapi oleh kalangan mahasiswa dengan semangat heroik dengan melakukan long-march dari Makassar menuju ke wilayah Eks Kewedanaan Malili guna mensosialisaikan Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi Selatan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi mereka, baik karena minimnya fasilitas maupun tantangan kurangnya jaminan keamanan pada masa itu. Hal tersebut, tidak sedikitpun melemahkan semangat para Mahasiswa untuk menguinjungi wilayah Eks Kewedanaan Malili, mulai dari Wotu, Mangkutana, Malili, Tabarano dan Timampu serta kembali ke Makassar. Beberapa bulan kemudian dilakukan pertemuan antara perwakilan penuntut dan penggagas Kabupaten yang diprakarsai oleh Ikatan Keluarga Eks Kewedanaan Malili (IKMAL) dengan Gubernur Sulawesi Selatan, tepatnya pada tanggal 29 Agustus 1966, Gubernur Sul-Sel pada waktu itu Achmad Lamo menyatakan: “Sebenarnya Malili menjadi Kabupaten tinggal menunggu waktu saja “. Pada tanggal 8 Oktober 1966 Panitia Persiapan Pembentukan Daerah Tingkat II Malili dan Masamba menghadap Sekjen Depdagri pada waktu itu (Soemarman, SH). Pada pertemuan itu, Sekjen berjanji akan mengirimkan Tim ke Daerah yang bersangkutan.

IV. Kisaran Tahun 1999
Seiring dengan bergulirnya era reformasi yang telah memberikan ruang kebebasan lebih luas terhadap `wacana pemekaran Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka hal ini dimamfaatkan sebagai momentum yang kuat dalam melanjutkan perjuangan aspirasi Masyarakat Ex Kewedanaan Malili untuk membentuk sebuah Kabupaten. Pada awal tahun 1999, saat pemekaran Kabupaten Luwu sedang dalam proses, timbul kembali aspirasi masyarakat yang kuat menginginkan dan mendesak kepada Pemerintah Pusat untuk merealisasikan pembentukan suatu Kabupaten pada wilayah Eks Kewedanaan Malili sesuai dengan Amanat Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Propinsi Sulawesi-Selatan.Menindaklanjuti aspirasi pemekaran Kabupaten Luwu yang beragam, maka DPRD Provinsi Sulawesi Selatan melalui Surat Keputusan DPRD Provinsi TK. I Sulawesi Selatan Nomor 21/III/1999, dijelaskan pada pasal 2 sebagai berikut ; Mengusulkan Kepada Pemerintah Pusat untuk selain menyetujui Pemekaran Daerah TK. II Luwu menjadi 2 ( Dua ) kabupaten Daerah Tingkat II Luwu Utara, agar melanjutkan Pemekaran Kabupaten Daerah Tingkat II dengan menjadikan bekas Kewedanaan (Onder Afdeling) Masamba dan bekas Kewedanaan (Onder Afdeling) Malili masing-masing menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II serta peningkatan Kota Administratif Palopo menjadi Kota Madya Daerah TK. II. Meskipun aspirasi dan tuntutan masyarakat Luwu Timur untuk membentuk Kabupaten Luwu Timur yang otonom sesuai dengan hak historis dan kecukupan potensi yang dimiliki belum terealisasi, namun tidak mengurangi semangat dan tekad masyarakat Luwu Timur untuk berjuang mewujudkan cita-cita tersebut. Hal ini dibuktikan dengan digelarnya Pertemuan Akbar masyarakat Ex Kewedanaan Malili pada tanggal 18 Maret 2000 di Gedung pertemuan Masyarakat Malili yang menghasilkan rekomendasi tentang pembentukan Kabupaten Luwu Timur dengan membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Ex Kewedanaan Malili yang hasilnya telah diusulkan melalui surat Nomor 005/PP-Alu/2000 tanggal 20 April 2000 Tentang Usul Pemekaran Luwu Utara kepada Bupati Luwu Utara dan Ketua DPRD Kabupaten Luwu Utara. Dalam menindaklanjuti aspirasi masyarakat Luwu Timur maka lahirlah keputusan DPRD Luwu Utara mengeluarkan SK tentang Pembentukan Pansus dan SK Nomor 04 Tahun 2001 Tanggal 31 Januari 2001 Tentang persetujuan pemekaran Kabupaten Luwu Utara menjadi 2 ( dua ) wilayah Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur, yang merupakan prakarsa hak inisiatif DPRD Luwu Utara. Hal ini, kemudian direspon oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sesuai ketentuan dan mekanisme yang ditetapkan dalam PP. 129 Tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah, yakni dengan melanjutkan keputusan DPRD Kabupaten Luwu Utara tentang Persetujuan terhadap Pembentukan ex Kewedanaan Malili menjadi Kabupaten Luwu Timur, kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan melalui surat tertanggal 04 April 2002, Nomor 100/134/Bina PB.Bang Wil .

V. Kisaran Tahun 2002 - 2003
Berdasarkan Keputusan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2002 tanggal 24 Mei 2002, tentang Persetujuan usul pemekaran Luwu Utara. Gubernur Sulawesi Selatan menindaklanjuti dengan mengusulkan pembentukan Kabupaten Luwu Timur dan Mamuju Utara kepada Menteri Dalam Negeri melalui Surat Nomor 130/2172/Otoda tanggal 30 Mei 2002. Akhirnya, aspirasi perjuangan masyarakat Luwu Timur yang diperjuangkan selama 44 tahun telah mencapai titik kulminasi yaitu atas persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia dengan disahkannya Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2003 tanggal 25 Februari 2003, Tentang Pembentukan Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Mamuju Utara di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan Undang - Undang tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan, atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada tanggal 3 Mei 2003 telah meresmikan sekaligus melantik penjabat Bupati Luwu Timur di Ruang Pola Kantor Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar. Kemudian pada tanggal 12 Mei 2003, sebagai penanda mulai berlangsungnya aktivitas pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Luwu Timur yang baru terbentuk itu, maka Bupati Luwu Utara dan Penjabat Bupati Luwu Timur secara bersama-sama meresmikan pintu gerbang perbatasan Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur yang ditandai dengan pembukaan selubung papan nama perbatasan bertempat di Desa Lauwo antara Kecamatan Burau Kabupaten Luwu Timur dan Kecamatan Bone - Bone, Kabupaten Luwu Utara. Pada hari yang sama dilakukan prosesi penyerahan operasional Pemerintahan dari Pemerintah Kabupaten Luwu Utara kepada Pemerintah Kabupaten Luwu Timur bertempat di lapangan Andi Nyiwi, Malili. Dengan terbentuknya Kabupaten Luwu Timur yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Luwu Utara maka secara administratif Kabupaten Luwu Timur berdiri sendiri sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Namun secara kultural, historis dan hubungan emosional sebagai satu rumpun keluarga Tanah Luwu tetap terjalin sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Demikian Kilas Balik Terbentuknya Kabupaten Luwu Timur. Malili, Mei 2007 Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Luwu Timur, H. ANDI HASAN

Sumber:http://www.luwutimurkab.go.id/lutim2/index.php?option=com_content&view=article&id=93&Itemid=175

Kamis, 15 April 2010

PENELITIAN ARKEOLOGI ATAS LEGENDA LUWU PADA ZONA-ZONA TOPONIM DI KABUPATEN LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN

PENELITIAN ARKEOLOGI ATAS LEGENDA LUWU PADA ZONA-ZONA TOPONIM DI KABUPATEN LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN
Oleh : Tim Peneliti Balai Arkeologi Makassar

1. Situs Patande dan Salabu
Dalam naskah I La Galigo kedua situs ini merupakan toponim penting dalam wilayah kekuasaan kerajaan Luwu masa lalu yang disebut “wewangriu”.. Pada masa lalu nama Wewangriu adalah bentukan baru untuk sebuah desa yang terdapat di sebelah timur pelabuhan sungai Malili. Kedua situs ini terletak di tepi bagian selatan Sungai Larona yang membujur dari timur ke barat hingga pesisir pantai dan sekarang merupakan pemukiman padat penduduk . Secara astronomis kedua situs berada pada posisi 2° 38’ 13.0” Lintang Selatan dan 121°05’47.4” Bujur Timur atau 2°38’17.2”Lintang Selatan dan 121°05’32.6” Bujur Timur. Sedang secara administratif kedua situs tersebut termasuk dalam wilayah Desa Wewangriu, .Kecamatan Malili.
Sesuai informasi penduduk setempat pada beberapa waktu yang lalu bahwa seringkali mereka menemukan sejumlah besar wadah keramik, tembikar, gelang perunggu dalam penggalian barang antik tahun 1980-an serta berdasarkan hasil ekskavasi yang telah dilakukan oleh OXIS PROJECT tahun 1999, maka survei yang telah dilakukan di kedua situs ini berupa pengamatan lingkungan dan kolekting artefak berupa fragmen keramik dan tembikar yang berada di antara pemukiman penduduk, guna melengkapi data sebelumnya. Secara sporadis pada beberapa lokasi ditemukan adanya deposit midden kerang laut, selain itu, pada permukaan juga banyak dijumpai kerikil batu besi yang diduga sebagai limbah buangan dari PT. INCO atau memang krikil alamih yang merupakan pecahan bongkah-bongkah batu besi yang banyak terdapat pada bukit dan gunung di sekitar kota Malili.
Adapun artefak yang ditemukan berupa pecahan keramik dan tembikar, khusus temuan pecahan tembikar yang sebagian memiliki dekorasi dan sebagian juga ada yang polos. Sesuai dengan atribut berupa kulitas dan teknologinya diperkiran jenis tembikar yang ditemukan ini berasal dari masa pra-Islam, sedang fragmen keramik yang dikumpulkan berasal dari Dinasti Ming, Cing, Thailand dan Eropa yang diperkiran berumur antara abad 15-19 M. Secara fungsional pecahan-pecahan keramik yang ditemukan umumnya dari pecahan wadah mangkuk, piring dan tempayan. Walaupun toponim kedua situs ini tidak dilansir dalam legenda tokoh epik La Galigo, namun penemuan pecahan keramik dan tembikar memberi indikasi perangnya sebagai pelabuhan dagang yang memungkinkan kontak dengan Bandar-bandar yang letaknya sangat jauh.
Jika melihat kondisi dari morfologi bentang alamnya, tampak pelabuhan sungai Malili tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Pengaruh transpormasi alam, misalnya perubahan aliran sungai juga tidak tampak, mengingat sungai Malili dibentuk secara alami oleh cekungan perbukitan yang curam dan sangat tidak memungkinkan berubah arah karena meander bentukan baru. Oleh karena itu, situs-situs yang ada ditepi Sungai Larona ini sebagai pelabuhan dan memainkan peran melayani kapal-kapal niaga terus-menerus sejak abad XV M sampai sekarang. Sekarangpun Sungai Larona masih menjadi pelabuhan nelayan dan pelabuhan ekspor-inpor barang.

2. Situs Bola Marajae-Tamalipa-Tompotikka (Ussu)
Kedua situs ini terletak kurang lebih 10 kilometer di sebelah barat kota Malili (posisi GPS 02°35’75.3” Lintang Selatang dan 121°05’57.5” Bujur Timur) dan cukup terkenal dalam naskah La Galigo dan kedudukan magisnya bagi penguasa Luwu (Reid, 1990:108) dan sebagai “pusat nyata” Luwu (Bulbeck dan Prasetyo, 1997). Secara administrasi kedua situs ini termasuk dalam wilayah desa Ussu, Kecamatan Malili dan lokasinya berada di dasar kaki bukit dan lembah di pedalaman dimana Sungai Ussu melebar dan bercabang menjadi Sungai Malili. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh OXIS PROJECT tahun 1999 mengindikasikan bahwa kedua situs tersebut merupakan pusat lama Ussu. Khusus untuk Situs Bola Marajae adalah sebuah hutan yang terletak ditengah lembah yang dikelilingi oleh persawahan. Situs ini telah di ekskavasi tahun 1999 dan temuannya berupa pecahan-pecahan gerabah yang halus dengan kualitas pembakaran hampir sempurna. Data temuan itu menjadi dasar untuk menempatkan Situs Bola Marajae sebagai situs pemukiman yang diperkiran dari periode awal masehi. Dari survei yang dilakukan kali ini memperlihatkan kondisi lingkungan situs yang tertutup pepohonan dan belukar yang cukup lebat serta permukaan tanahnya digenamgi air. Kondisi ini menyebabkan pengamatan terhadap lingkungan dan kolekting temuan agak sulit. Di antara beberapa pepohonan di situs ini, dikenali beberapa tumbuhan diantaranya (kelapa, mangga, pinang, dll) yang mengindikasi bahwa situs ini pernah diokuvasi oleh manusia di masa lalu. Temuan arkeologis pada permukaan situs tidak banyak, itupun hanya terbatas pada bagian tanah yang tinggi dan tersingkap. Temuannya berupa pececahan-pecahan gerabah yang berukuran kecil dan sudah sangat aus.
Selanjutnya survei yang dilakukan di Situs Tamalipa sedikit terkendala oleh anggapan masyarakat setempat yang mengkeramatkan situs tersebut dan melarang tim memasuki wilayah keramat itu. Situs Tamalipa berada di dalam sebuah daerah yang cukup luas bernama Tompotikka, sebuah nama tempat utama dalam epik Lagaligo dan juga sebagai nama sebuah benteng di kota Palopo (Irfan, 1993). Wilayah Tompotikka juga meliputi Kuburan Islam (posisi GPS 2°35”17.0” Lintang Selatan dan 121°05”45.4” Bujur Timur) dan hutan yang berada tepat di atasnya. Beberapa penduduk sekitar yang kami temui memperlihatkan beberap wadah keramik hasil galian mereka. Dari sekian keramik penduduk itu dikenali berasal dari Vietnam dan Cina (Ming-Dehua) sekitar abad 14-15 M (OXIS PROJECT, 1999). Penggalian yang dilakukan oleh tim OXIS tahun 1999 di sektor kuburan itu tidak menemukan bukti arkeologis sesuai temuan penduduk sebelumnya. Demikian juga penggalian OXIS di sektor Taipa hanya menemukan benda arkeologis yang sangat muda, yaitu pecahan keramik dari abad 18-19 M.
Khusus survei yang dilakukan oleh tim Balar Makassar tahun 2008 di Sekitar situs Tompotikka yang di keramatkan dan dilarang masuk oleh penduduk setempat, tim menemukan beberapa lelehan besi (iron slag) dan beberapa pecahan gerabah polos tepat ditepi hutan belukar itu. Temuan tersebut memberi indikasi bahwa situs ini merupakan situs penting dalam wilayah Dinasti Luwu sekitar abad 12-14 M. Situs Ussu dalam naskah Lagaligo disebut sebagai pusat istana, namun dari beberapa penggalian dan survei yang dilakukan belum cukup data untuk menentukan sebuah situs sebagai pusat istana Luwu. Walaupun pengamatan tidak menyeluruh terhadap situs Tompotikka yang keramat itu, akan tetapi patut diduga situs ini adalah pusat istana atau mungkin juga situs tersebut hanya sebagai klaster pandai besi untuk membuat dan melebur besi Luwu, sedang istnanya berada di situs Bola Marajae ?.

3. Situs Katue (Cerekang)
Sama halnya di Ussu di wilayah Cerekang juga terdapat banyak tempat yang dikeramatkan oleh penduduk. Salah satu tempat yang dikeramatkan di Cerekang adalah Bukit Pensiwawoni. Tempat ini dipercaya sebagai tempat turunnya Sawerigading dari langit sehingga tempat ini sangat dijaga atau dilindungi, dan hingga sekarang lokasi ini menjadi tempat pengambilan air suci untuk keperluan upacara kerajaan Luwu di Palopo. Khusus Situs Katue oleh penduduk Cerekang tidak terlalu dikeramatkan sehingga tim peneliti dari Balar Makassar dapat memasukinya. Secara astronomi situs ini terletak pada posisi 2°35’25.1” Lintang Selatan dan 121°02’00.5” Bujur Timur (GPS) atau secara administrasi situs ini termasuk dalam wilayah Desa Manurung, Kecamatan Malili tepatnya di sisi timur Sungai Cerekang. Keterangan yang diperoleh dari penduduk setempat diketahui bahwa Situs Katue merupakan pemukiman tua-awal masyarakat Cerekang sebelum dipindahkan ke pinggir jalan poros Cerekang-Wotu oleh pemerintah Belanda sekitar tahun 1930-an. Nama Katue sebenarnya tidak ditemukan dalam epik Lagaligo atau teks klasik Bugis dan tidak terkait dengan legenda Sawerigading. Meskipun demikian pemberian nama Katue oleh masyarakat Cerekang memiliki arti “Tua”, yang menegaskan bahwa situs tersebut memiliki latar belakang sejarah cukup penting dan mungkin sekali telah di okuvasi pada periode Dinasti Luwu mulai muncul atau dari masa yang lebih tua lagi, yaitu periode neolitik hingga awal-awal masehi.
Ketuaan Situs Katue pertama kali terkuak dari hasil penelitian OXIS tahun 1999 yang menemukan sejumlah manik-manik kaca dan pecahan-pecahan tembikar serta artefak dari logam mulia. Berdasarkan pertanggalan relatif terhadap manik-manik kaca yang diduga berasal dari Cina itu, maka situs Katue di okuvasi dari abad X-XIV M (Bulbeck dan Prasetyo, 1999:43). Dari pertanggalan itu, maka Katue dapat dianggap bagian penting dalam pertumbuhan awal Dinasti Luwu yang disebut oleh Pelras, 1996 sebagai “Zaman Galigo”. Selanjutnya pengumpulan data lanjutan di situs Katue oleh tim penelitian Balar Makassar tahun 2008 ini dengan memperluas radius survei dari pusat konsentrasi temuan manik-manik yang terdapat di sekitar perkebunan coklat milik Bapak Daeng Makilo. Radius konsentrasi manik-manik dan tembikar kurang lebih 130 meter pada sumbu barat laut-tenggara. Dari pengamatan yang dilakukan pada permukaan situs, tampaknya temuan manik-manik dan tembikar hanya terlihat pada bagian tanah yang tersingkap untuk pembuatan parit pengairan pohon coklat saja. Sedang pada bagian tanah yang tidak tergarap (insitu), temuannya (artefak) sangat minim.

4. Situs Turunan Damar
Terletak di sekitar 2°32.7” Lintang Selatan atau 121°00.6” Bujur Timur, Turunan Damar adalah sebuah kawasan hutan luas yang masih digunakan untuk mengumpulkan damar sebelum diangkut lewat darat dari perbukitan di sekelilingnya. Dua anak sungai muncul dari hutan mengalir ke tepi hutan yang masih berpenghuni di tepi barat sungai Cerekang. Jejak pemukiman lama antara lain adalah pohon-pohon kebun yang sudah tua di tepi hutan, dan perkuburan Islam di dalam hutan yang terletak di bagian selatan situs. Survei yang dilakukan tim OXIS tahun 1997 menemukan fragmen keramik Cina dari Dinasti Ching (swatow) dan beberapa pecahan keramik Eropa, serta pecahan keramik dari wadah piring yang khas-unik dengan ciri hiasan segi tiga berukir dan jejak glasir timah. Dari ciri keramik tersebut diperkirakan berasal dari abad 14-15 M (Bulbeck dan Prasetyo, 1997). Sedangkan survei yang dilakukan oleh tim Balar Makassar tahun 2008 juga menemukan benda-benda modern dan pecahan keramik dari abad 17-18 M (Ching dan Eropa) yang jumlahnya tidak baanyak. Ciri keramiknya antara lain dekorasi biru coklat, tertimbun dan terkelupas. Dari survei dan artefak yang dikumpulkan, situs ini tampaknya dihuni oleh manusia pada periode belakangan, dalam pengertian tidak signifikan dengan sejarah pertumbuhan kerajaan Luwu sebagai pusat dan awal kemunculannya.

5 Situs Tampinna
Menurut tradisi lisan Luwu “Tampinna” telah menjadikan dirinya sebagai tempat aktivitas ekonomi dengan menjadi pusat ikat kayu untuk keris (sarung atau warangka) yang diproduksi di tempat lain di Luwu (Caldwell; Sumantri, 2007). Akses ke situs ini adalah dari kampung Turunan Bajo (pelabuhan orang Bajau) yang penghuninya masih mengakui dirinya sebagai keturunan bajo, walaupun dirinya menggunanakan bahsa Bugis ketimbang bahasa Bajau. Situs ini terletak di sepanjang perbatasan utara kanal dimana kanal Tampinna, Lakawali dan Langkasa bertemu, sebelum bersatu menuju ke laut sebagai satu sungai besar. Kawasan ini dilingkungi benteng tanah dan diapit dua kanal yang disebut sebagai Benteng Tampinna, meskipun dinding tanah benteng ini sudah tidak teramati lagi.
Posisi secara astronomi situs Tampinna adalah 2°37’.41” Lintang Selatan atau 120° 58’.31” Bujur Timur meruapakan sebuah hutan dengan vegetasi yang memperlihatkan bekas budidaya manusia di masa lalu. Sekeliling situs adalah tambak sehingga banyak tersingkap midden. Berdasarkan informasi penduduk setempat bahwa ketika mereka menggali tambak terkadang menemukan keramik tua dan tulang-tulang manusia serta serpihan maupun benda-benda perunggu dan besi. Selain itu, penduduk juga sering menemukan peti mati (duru=bahasa setempat) bersama-sama keramik, artefak besi (pedang, parang, pisau, mata tombak), gelang perunggu dan manik-manik. Sebagian dari temuan penduduk tersebut masih tersimpan, sehingga tim peneliti dapat memotret dan mengindentifikasi benda-benda tersebut (lihat foto temuan).
Survei yang dilakukan tim Balar Makassar tahun 2008 pada beberapa tempat di situs Tampinna berhasil mengumpulkan sejumlah pecahan keramik Cina dari abad ke-16 M terutama pada pematang-pematang tambak di sebelah barat bekas kotak gali tim OXIS tahun 1999. Selain itu, tim juga memperluas kisaran survei ke arah kompleks penguburan Islam dan hanya menemukan pecahan keramik Cina (Ming) abad 16 M. Tampaknya wadah keramik yang berisi abu dan tulang manusi atau kremasi maupun wadah penguburan dengan peti kayu (temuan penduduk) tidak mempunyai hubungan dengan pekuburan Islam tersebut, tetapi lebih dengan tradisi penguburan suku Bajau sesudah abad ke-14 M.

6. Situs Matano
Dalam batas administrasi, situs ini berada dalam wilayah kampung Matano, Desa Nuha, Kecamatan Nuha dengan posisi pada GPS adalah 2°27’24.2” Lintang Selatan dan 120°12’57.7’ Bujur Timur atau berada pada sisi barat Danau Matano yang merupakan salah satu danau terdalam di dunia (Reid, 1990: 109). Permukaan danau tersebut mencapai 509 meter di atas permukaan laut, namun dasarnya berada 80 meter di bawah permukaan laut. Palung yang terjal membelah dasar danau ini yang mengandung batu kapur di barat dayanya dan batu besi disebelah utaranya. Merefleksi potensi yang sangat berbeda untuk pertanian dari dua dasar geologis ini, kebanyakan kaki bukit di sepanjang sisi barat daya digunakan untuk ladang, sementara hutan utama berada di sepanjang sisi utara. Operasi penambangan nikel terbesar di dunia yang dikelola PT. INCO berlokasi di perbukitan Soroako tepat di sebelah tenggara danau ini. Potensi Kampung Matano sebagai situs arkeologis-historik, khususnya dalam menemukan biji besi bermuatan nikel, pertama kali dibawa ke dunia ilmuan oleh Caldwell (1993-1994). Bahkan, sebagian besar kampung ini berada di atas limbah penempaan besi (iron slag) dengan ketebalan setengah meter berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh OXIS tahun 1999. Selanjutnya ekskavasi OXIS pada tiga titik (Rahampuu, Pangkaburu dan Lemogolla) di Matano telah menunjukkan bahwa situs ini merupakan situs pertambangan dengan temuan pendukung berupa lelehan besi dan tungku peleburan, fragmen tembikar serta serpihan-serpihan batu yang diperkirakan sebagai pemantik api (Bulbeck, 1999).
Survei tim Balar tahun 2008, selain menambah data sebelumnya juga sekaligus mencari data baru untuk mendukung hipotesa bahwa besi bermuatan nikel dikerjakan dan diekspor ke Jawa sebagai pamor Luwu pada abad ke-13 Masehi. Namun data artefaktual yang ditemukan dalam penelitian ini, hanya berupa terak besi dan beberapa pecahan tembikar serta pecahan keramik dari masa yang lebih muda. Tidak ditemukannya keramik tua di situs tersebut kemungkinan karena situs ini tidak menjadi pemukiman pada masa itu (sekitar abad 13), dan hanya tempat menggali biji besi yang bermuatan nikel untuk ditempa di tempat lain (mungkin Ussu atau Cerekang ?).

7. Situs Wotu
Wotu sekarang merupakan nama sebuah kecamatan dalam wilayah administrasi Kabupaten Luwu Timur. Wilayah ini terletak pada formasi dataran alluvial pantai Teluk Bone di suatu lembah sebelah barat Sungai Kalaena atau secara astronomi berada pada posisi 2°36’935” Lintang Selatan dan 120°48’156” Bujur Timur. Secara umum bentang alam Wotu tersusun oleh morfologi dataran rendah, merupakan daerah rawa dan perbukitan yang berdasarkan prosentase kemiringan lereng dan beda tinggi relatif. Wotu terdiri dari beberapa satuan morfologi, yaitu satuan morfologi pedataran, pedataran bergelombang lemah dan satuan pedataran bergelombang kuat. Penduduknya terdiri dari dua komunitas besar, yaitu orang Wotu dan Bugis yang basis pencahariannya adalah petani dan nelayan. Di dalam kawasan Kecamatan Wotu juga digunakan dua bahasa, yaitu bahsa Wotu yang dituturkan oleh orang Wotu asli yang diduga mempunyai hubungan linguistik dengan bahasa Muna-Buton (Wolio) dan bahasa Bugis yang dianggap bahasa para migran dari negeri selatan. Namun, masyarakat Wotu sehari-hari sangat unik dalam komunikasi dibandingkan dengan daerah Luwu lainnya, karena orang Wotu bisa menggunakan dua bahasa tersebut (bilingual) (lihat, Fadillah dan Hakim, 1998).
Sejarah Wotu sekarang umumnya tinggal serpihan ingatan orang-orang berumur tsenja. Informasi-informasi cikal-bakal leluhur dan geohistoris Wotu diperoleh dari sumber tutur. Menurut salah satu tokoh masyarakat Wotu Bapak Arsyad mengatakan Wotu juga pernah memiliki naskah tertulis berupa lontara yang memuat sejarah dan legenda tentang perkembangan masyarakat Wotu sekitar abad XV-XVI M dalam kaitan dengan eksistensi Luwu sebagai sebuah entitas politik berpengaruh di tanah Bugis.
Dinamika sejarah-kebudayaan di atas sangat menarik diinvestigasi. Hal ini untuk memperlihatkan bukti empiris dan menegaskan beberapa hal yang patut dipercaya secara ilmiah dan bukan sekedar mitos. Sayangnya, hasil investigasi menunjukkan data yang kurang mendukung legenda masa protosejaraah Wotu, sebagaimana tergambarkan pada situs-situs di bawah ini;
Situs Mulataue, toponim Mulataue seperti yang diceritakan dalam legenda Wotu sebagai suatu daerah yang menjadi asal penguasa Luwu atau tempat dimana Batara Guru dan Oro Keling membuka ladang pertama kalinya. Dari investigasi yang dilakukan oleh tim Balar tahun 2008, situs ini sekarang hanya tampak merupakan tanah pertanian yang basah dan selalu banjir akibat terkonsentrasinya air hujan setelah pada bagian timur areal ini dibangun tanggul. Sampai sekarang, penduduk masih menanam padi dan beberapa ladang palawija di sela-sela persawahan, Pada saat investigasi arkeologis dilakukan, daerah ini dalam keadaan pasang sehingga sulit mencapai pusat yang disebut sebagai ”Mulataue”.
Jika melihat kondisi situs ini yang terus dibajak, maka kemungkinan besar apabila benar tempat ini adalah sebuah situs, maka sisa pemukiman yang pernah ada bisa sangat terganggu (distrub). Demikian pula, banjir akan menyulitkan pengamatan secara arkeologis. Kondisi situs yang demikian, sehingga tidak ditemukan artefak yang dapat membuktikan legenda di atas.
Situs Bukit Lampanae; dalam bahasa Wotu “Lampanae” gunung yang menyerupai parang. Bukit Lampenae terletak di sebelah timur laut kota Wotu yang dipisahkan dengan dataran rendah (rawa) dengan dataran tinggi di bagian utara. Kunjungan tim Balar di bukit ini belum berhasil menemukan artefak yang menunjang bahwa tempat ini sebagai suatu pemukiman tua, sebagaimana yang diceritakan dalam lagenda Luwu yang menyebut bahwa tempat ini sebagai kampung awal dari Sawerigading. Bukit Lampanae ditumbuhi pepohonan yang cukup rimbun sehingga menjadi hutan sekunder. Pada bagian bukit yang tersingkap tampak terlihat lapisan batuan beku dan breksi.
Situs Benteng Wotu; termasuk dalam wilayah Desa Lampenai, Kecamatan Wotu. Keadaan sekarang hanya berupa sisa gundukan tanah yang ditutupi rerumputan dan terletak di antara permukiman penduduk yang padat. Akibat perluasan pemukiman dan pembuatan jalan, sehingga dinding benteng yang tersisa tinggal sekitar 20%.. Menurut keterangan penduduk setempat, benteng ini berbentuk persegi dan di dalamnya terdapat sebuah sumur tua dan makam (sekarang masih ada).
Pada kompleks bentang ini juga terdapat beberapa toponim yang berkaitan dengan eksistensi pusat politik Wotu, yaitu Saleko dan Bangkolo. Bangkolo menurut keterangan penduduk sebagai tempat pelantikan raja dan Saleko hanya berupa gundukan tanah setinggi 50 meter yang terletak di tepi sungai. Artefak yang ditemukan dalam survei tahun 2008 ini hanya berupa pecahan keramik Cina dari abad kemudian 16-17 M dan keramik Eropa abad 18-19 M. Hal ini, memberi petunjuk bahwa bentang ini dipergunakan pada masa Islam.

Sumber: http://www.arkeologi-makassar.com/dtlbrt.php?id=27

Warisan Nenek Moyang Luwu Timur di Tangan Orang Lain

SENJATA DARI MATANO

SATU hari yang cerah, Paul Savoy general manager PT Inco berikut isteri dan kawannya, Dr Bell, pergi menyelam di danau Matana. Menyelam lengkap dengan tabung zat asam (scuba diving) memang satu-satunya rekreasi dan olahraga yang digemari orang-orang di tambang nan terpencil itu. Tak diketahuinya, bahwa acara menyelam hari itu bakal membuka tabir yang sudah lama terkatup di bawah air Menyusuri tebing kapur di pinggir danau No. 2 terdalam di dunia itu, tiba-tiba pada kedalaman 13 meter mereka menemukan mulut gua di tebing bawah air itu. Savoy dan Bell terus masuk. Apa yang mereka temukan di dalamnya? Mulut gua itu hanyalah pintu masuk ke gua yang lebih besar, dan di gua kapur bawah air itu mereka temukan beberapa kerangka eks manusia dan sejumlah besar senjata tajam - tombak, parang dan pedang. Dibantu oleh isteri mereka, kedua orang asing itu mengangkut sejumlah senjata tajam itu keluar dari gua, terus ke permukaan danau di mana pesawat amfibi Lake Buccaneer milik perusahaan diparkir. Ada 25 senjata tajam yang dibawa Dr Bell ke rumahnya, dan pasangan Paul dan Lilian Savoy juga membawa squmlah besar senjata tajam untuk hiasan di rumahnya. Ketika wartawan TEMPO G.Y. Adicondro bertandang ke rumah orang Perancis itu di Soroako, tinggal 7 buah yang tergantung di dinding. Ukurannya macam-macam. Mulai dari pedang yang panjangnya � meter lebih, sampai ujung lembing yang hanya sqengkal. "Meskipun anda berminat, kami tidak mau memberikan sebuah pun pada anda, atau siapa pun juga. Sebab hanya tujuh buah itulah yang tinggal milik kami. Banyak yang kami berikan pada orang, yang janji mau menanyakan umur senjata-senjata tajam itu di museum, tapi sampai sekarang tidak ada yang mengabarkan jawabannya pada kami", kata Lilian yang ikut menyelami 'harta karun' itu. Harta karun, memang bolehlah barang-barang itu disebut begitu. Sebab di kota tambang Soroako itu, tidak ada yang tahu pasti berapa umur senjata-senjata tajam yang diangkut Paul Savoy dan Dr J.A.E. Bell dari tebing danau itu. Orang mulai menduga-duga bahwa itu senjata purba, namun dari bentuknya yang rada kontemporer, dugaan itu dilepaskan. Lantas orang mulai menduga-duga, bagaimana puluhan senjata tajam itu sampai tergeletak di gua kapur, 13 meter di bawah muka air bersama kerangka-kerangka manusia. Ada yang beranggapan, gua kapur di bawah air itu memang kuburan penduduk asli daerah Soroako mengingat tradisi tetangga mereka orang Toraja mengubur mayat di gua-gua di tebing gunung. Namun bagaimana caranya mengubur orang di bawah air? Kalau mayat sekedar dibuang ke dasar danau dari perahu, bisa hancur sebelum sampai ke dasar danau yang dalamnya 645 meter itu. Untuk dapat memasukkannya ke gua bawah air, penduduk asli di pinggir danau Matana harus punya kemampuan menyelam sampai kedalaman 13 meter. Tanpa tabung zat asam, jadi hanya mengandalkan paru-paru alam, mana mungkin mereka menyelam sampai kedalaman itu membawa mayat dan senjata tajamnya, kemudian menyusup masuk ke gua yang pintunya tidak seberapa besarnya. Lebih Banyak Oke, katakanlah itu kuburan di bawah air. Tapi mengapa senjata-senjata tajam sebanyak itu pun ditumpuk di gua itu, jauh lebih banyak dari pada yang dapat digunakan oleh jenazah-jenazah itu di alam baka? Makanya ada yang berpendapat, bahwa senjata-senjata sebanyak itu memang sengaja disembunyikan orang-orang tertentu di gua kuburan itu. Lantas siapa yang menyembunyikannya? Untuk tidak terlalu berpaling ke zaman dulu, ada yang berpendapat bahwa senjata-senjata itu adalah hasil razzia yang dilakukan gerombolan Kahar Muzakkar di daerah itu untuk mencegah perlawanan penduduk. Suatu tempat penyimpanan yang memang hebat, yang mestinya diberitahukan pada gerombolan DI-TII itu oleh penduduk asli yang tahu adanya gua-kuburan bawah air itu. Meskipun bentuknya rada kontemporer - kecuali gagang pedang dan parang yang rada antik, dekoratif - toh ada yang tidak puas menerima besi itu sebagai baja modern. Maklumlah, dalam cyclopaedia Britannica jilid 5 ada disebutkan, bahwa daerah Luwu (dulu kesultanan, kini kabupaten), di mana danau Matana berada, terkenal karena pandai besinya. Bahkan nama Sulawesi sendiri, menurut seorang geolog Inco, B.N. Wahyu, berasal dari sula (= ujung lembing) dan wesi (= besi). Atau menurut penuturan orang-orang Makassar, istilah Belanda, "Celebes" sendiri berasal dari kata-kata Makassar selle-selle bassi (=menempa besi). Romusha Semuanya itu menunjukkan, dan hal ini masih dapat dipertegas oleh orang-orang tua di Soroako, bahwa daerah itu dulu dikenal karena pandai-pandai besi di situ dulu mampu membuat senjata-senjata tajam dari bijih besi, nikel dan mangaan yang membuat kesultanan luwu jaya sebelum kedatangan orang-orang Barat ke Indonesia. Namun B.N. Wahyu yang juga menjabat sebagai Manajer Humas PT Inco punya teori lain: di masa pendudukan Jepang ahli-ahli negeri Sakura itu dengan bantuan romusha, tentunya - membangun jalan kereta api di Tanah Toraja. Namun setelah Jepang angkat kaki, jalan kereta api itu terbengkalai (seperti juga di Sumatera Tengah). Rel-relnya dilego sebagai besi tua, dan sebagian terdampar di sekitar danau Matana dan ditempa menjadi senjata tajam oleh pendudluk setempat yang masih mewarisi kepandaian nenek-moyangnya. Nah, sekarang senjata-senjata tajam itu - ada yang dimiliki Philip Jessup, Jr, manajer PT Inco di Jakarta - tinggal diuji komposisi logamnya oleh ahli metalurgi. Apa itu baja primitif, atau baja modern. Tapi siapa tahu, orang Muangthai pun sudah mampu membuat kuningan sebelum ilmu itu menyebar ke India, Tiongkok dan Timur Tengah. Dari tambang-tambang lokal, lagi.

Sumber :http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1976/12/11/ILS/mbm.19761211.ILS70671.id.html

Rabu, 14 April 2010

Putri We Tadampali'

Dahulu, terdapat sebuah negeri yang bernama negeri Luwu, yang terletak di pulau Sulawesi. Negeri Luwu dipimpin oleh seorang raja yang bernama La Busatana Datu Maongge, sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Karena sikapnya yang adil, arif dan bijaksana, maka rakyatnya hidup makmur. Sebagian besar pekerjaan rakyat Luwu adalah petani dan nelayan. Datu Luwu mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik, namanya Putri Tandampalik. Kecantikan dan perilakunya telah diketahui orang banyak. Termasuk di antaranya Raja Bone yang tinggalnya sangat jauh dari Luwu.

Raja Bone ingin menikahkan anaknya dengan Putri Tandampalik. Ia mengutus beberapa utusannya untuk menemui Datu Luwu untuk melamar Putri Tandampalik. Datu Luwu menjadi bimbang, karena dalam adatnya, seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah dengan pemuda dari negeri lain. Tetapi, jika lamaran tersebut ditolak, ia khawatir akan terjadi perang dan akan membuat rakyat menderita. Meskipun berat akibat yang akan diterima, Datu Lawu memutuskan untuk menerima pinangan itu. “Biarlah aku dikutuk asal rakyatku tidak menderita,” pikir Datu Luwu.

Beberapa hari kemudian utusan Raja Bone tiba ke negeri Luwu. Mereka sangat sopan dan ramah. Tidak ada iringan pasukan atau armada perang di pelabuhan, seperti yang diperkirakan oleh Datu Luwu. Datu Luwu menerima utusan itu dengan ramah. Saat mereka mengutarakan maksud kedatangannya, Datu Luwu belum bisa memberikan jawaban menerima atau menolak lamaran tersebut. Utusan Raja Bone memahami dan mengerti keputusan Datu Luwu. Mereka pun pulang kembali ke negerinya.

Keesokan harinya, terjadi kegaduhan di negeri Luwu. Putri Tandampalik jatuh sakit. Sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikkan. Para tabib istana mengatakan Putri Tandampalik terserang penyakit menular yang berbahaya. Berita cepat tersebar. Rakyat negeri Luwu dirundung kesedihan. Datu Luwu yang mereka hormati dan Putri Tandampalik yang mereka cintai sedang mendapat musibah. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan anaknya. Karena banyak rakyat yang akan tertular jika Putri Tandampalik tidak diasingkan ke daerah lain. Keputusan itu dipilih Datu Luwu dengan berat hati. Putri Tandampalik tidak berkecil hati atau marah pada ayahandanya. Lalu ia pergi dengan perahu bersama beberapa pengawal setianya. Sebelum pergi, Datu Luwu memberikan sebuah keris pada Putri Tandampalik, sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan apalagi membuang anaknya.

Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan sebuah pulau. Pulau itu berhawa sejuk dengan pepohonan yang tumbuh dengan subur. Seorang pengawal menemukan buah Wajao saat pertama kali menginjakkan kakinya di tempat itu. “Pulau ini kuberi nama Pulau Wajo,” kata Putri Tandampalik. Sejak saat itu, Putri Tandampalik dan pengikutnya memulai kehidupan baru. Mereka mulai dengan segala kesederhanaan. Mereka terus bekerja keras, penuh dengan semangat dan gembira.

Pada suatu hari Putri Tandampalik duduk di tepi danau. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampirinya. Kerbau bule itu menjilatinya dengan lembut. Semula, Putri Tandampalik hendak mengusirnya. Tapi, hewan itu tampak jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya ia diamkan saja. Ajaib! Setelah berkali-kali dijilati, luka berair di tubuh Putri Tandampalik hilang tanpa bekas. Kulitnya kembali halus dan bersih seperti semula. Putri Tandampalik terharu dan bersyukur pada Tuhan, penyakitnya telah sembuh. “Sejak saat ini kuminta kalian jangan menyembelih atau memakan kerbau bule, karena hewan ini telah membuatku sembuh,” kata Putri Tandampalik pada para pengawalnya. Permintaan Putri Tandampalik itu langsung dipenuhi oleh semua orang di Pulau Wajo hingga sekarang. Kerbau bule yang berada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak.

Di suatu malam, Putri Tandampalik bermimpi didatangi oleh seorang pemuda yang tampan. “Siapakah namamu dan mengapa putri secantik dirimu bisa berada di tempat seperti ini?” tanya pemuda itu dengan lembut. Lalu Putri Tandampalik menceritakan semuanya. “Wahai pemuda, siapa dirimu dan dari mana asalmu ?” tanya Putri Tandampalik. Pemuda itu tidak menjawab, tapi justru balik bertanya, “Putri Tandampalik maukah engkau menjadi istriku?” Sebelum Putri Tandampalik sempat menjawab, ia terbangun dari tidurnya. Putri Tandampalik merasa mimpinya merupakan tanda baik baginya.

Sementara, nun jauh di Bone, Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu. Ia ditemani oleh Anre Pguru Pakanranyeng Panglima Kerajaan Bone dan beberapa pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota tidak sadar kalau ia sudah terpisah dari rombongan dan tersesat di hutan. Malam semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara hewan malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di kejauhanm, ia melihat seberkas cahaya. Ia memberanikan diri untuk mencari dari mana asal cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal dari sebuah perkampungan yang letaknya sangat jauh. Sesampainya di sana, Putra Mahkota memasuki sebuah rumah yang nampak kosong. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik sedang menjerang air di dalam rumah itu. Gadis cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik.

“Mungkinkah ada bidadari di tempat asing begini ?” pikir putra Mahkota. Merasa ada yang mengawasi, Putri Tandampalik menoleh. Sang Putri tergagap,” rasanya dialah pemuda yang ada dalam mimpiku,” pikirnya. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik merasa pemuda yang kini berada di hadapannya adalah seorang pemuda yang halus tutur bahasanya. Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun tetapi tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsing menaruh hati.

Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, Putra Mahkota kembali ke negerinya karena banyak kewajiban yang harus diselesaikan di Istana Bone. Sejak berpisah dengan Putri Tandampalik, ingatan sang Pangeran selalu tertuju pada wajah cantik itu. Ingin rasanya Putra Mahkota tinggal di Pulau Wajo. Anre Guru Pakanyareng, Panglima Perang Kerajaan Bone yang ikut serta menemani Putra Mahkota berburu, mengetahui apa yang dirasakan oleh anak rajanya itu. Anre Guru Pakanyareng sering melihat Putra Mahkota duduk berlama-lama di tepi telaga. Maka Anre Guru Pakanyareng segera menghadap Raja Bone dan menceritakan semua kejadian yang mereka alami di pulau Wajo. “Hamba mengusulkan Paduka segera melamar Putri Tandampalik,” kata Anre Guru Pakanyareng. Raja Bone setuju dan segera mengirim utusan untuk meminang Putri Tandampalik.

Ketika utusan Raja Bone tiba di Pulau Wajo, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahandanya ketia ia di asingkan. Putri Tandampalik mengatakan bila keris itu diterima dengan baik oleh Datu Luwu berarti pinangan diterima. Putra Mahkota segera berangkat ke Kerajaan Luwu sendirian. Perjalanan berhari-hari dijalani oleh Putra Mahkota dengan penuh semangat. Setelah sampai di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu.

Datu Luwu dan permaisuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu Luwu merasa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Maka ia pun menerima keris pusaka itu dengan tulus. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang mengunjungi pulau Wajo untuk bertemu dengan anaknya. Pertemuan Datu Luwu dan anak tunggal kesayangannya sangat mengharukan. Datu Luwu merasa bersalah telah mengasingkan anaknya. Tetapi sebaliknya, Putri Tandampalik bersyukur karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular yang dideritanya. Akhirnya Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Bone dan dilangsungkan di Pulau Wajo. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Beliau menjadi raja yang arif dan bijaksana.

La Galigo

La Galigo adalah epik terpanjang dunia. Ianya wujud sebelum epik Mahabharata. Ianya mengandungi sebahagian besar puisi ditulis dalam bahasa bugis lama. Epik ini mengisahkan tentang kisah Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau. La Galigo tidak boleh diterima sebagai teks sejarah kerana ianya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Walaubagaimanapun, ia tetap memberi gambaran kepada sejarahwan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke 14.

Sebahagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropah, terutamanya di Perpustakaan Leiden. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah mukasurat yang tersimpan di Eropah dan di yayasan ini adalah 6000 tidak termasuk simpanan oleh orang perseorangan.

Kitaran Hayat La Galigo

500px-la_galigo_geneology.jpg

Epik dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulwesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu mesyuarat keluaraga dari beberapa kerajaan termasuklah Senrijawa dan Peretiwi dari alam ghaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelaran Batara Guru. La Toge’ langi’ kemudiannya berkahwin dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak kepada Guru ri Selleng, Raja alam ghaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, beliau harus melalui suatu tempoh ujian selama 40 hari 40 malam. Tidak lama kemudiannya, beliau pun turun ke bumi, dikatakan turun di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’ dan terletak di Teluk Bone. Batara Guru kemudiannya digantikan oleh anaknya, La Tiuleng dengan memakai gelaran Batara Lattu’. Beliau kemudiannya mendapat dua orang anak kembar iaitu Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan kembarnya, seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua-dua kembar itu tidak membesar bersama dan kemudian Sawerigading, yang pada mulanya menganggap bahawa We Tenriyabeng tidak mempunyai hubungan darah dengannya, ingin berkahwin dengannya. Tetapi disebabkan ini adalah suatu larangan, dia meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali. Dalam perjalannya ke Kerajaan Cina, beliau telah mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio iaitu Setia Bonga. Sesampainya di Cina, beliau berkahwin dengan Datu Cina iaitu We Cudai.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan antara tempat yang dilawati beliau ialah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (Sama ada Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga (kemungkinan Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Beliau juga dikisahkan melawat syurga dan alam ghaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri daripada saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tetamu yang pelik seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang berambut di dada.

Sawerigading adalah ayahanda I La Galigo (gelaran Datunna Kelling). I La Galigo juga seperti ayahandanya, seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada tolok bandingan. Beliau mempunyai empat orang isteri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayanhandanya, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.

Anak lelaki I La Galigo iaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu untuk dimahkotakan di Luwu’.

Kitaran epik ini merujuk kepada waktu dimana penempatan Bugis berada di persisiran pantai Sulawesi. Ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Penempatan awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah pula terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahan mengandungi istana dan rumah-rumah orang atasan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Majlis (Baruga) berfungsi untuk tempat bermesyuarat dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing amatlaj dialu-alukan di kerajaan Bugis ketika itu. Selepas membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing boleh berniaga. Selalunya, pemerintah berhak berdagang dengan meraka menggunakan sistem barter, diikiuti golongan atasan atau bangsawan dan kemudiannya orang kebanyakkan. Perhubungan antara kerajaan adalah memalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalunya diarah untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum memikul sebarang tanggungjawab dan Sawerigading dikatakan sebagai model mereka.

La Galigo di Sulawesi Tengah

Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Ini membuktikan bahawa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis iaitu Luwu’.

Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau melawat lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berjaya mengundurkan laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah tasik iaitu Tasi’ Buri’ (Tasik Buri).

Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu menjemput Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudiannya meminta pertolongan kekandanya yang berada di Luwu’. Sesampainya tentara Luwu’, kekanda Bunga Manila mengumumkn bahawa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Walaubagaimanapun, Bunga Manila masih menaruh dendam dan dengan itu mengarahkan anjing beliau, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan kesemua tempat mereka lawati menjadi daratan.

Kisah yang lainnya yang terdapat di Donggala ialah I La Galigo dikatakan terlibat dalam laga ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, beliau berlaga ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae manakala lawannya ialah Baka Cimpolo dan ayam I La Galigo kalah dalam perlagaan itu. I La Galigo kemudiannya meminta pertolongan daripada ayahandanya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, beliau mendapati bahawa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, kerana Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.

Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.

La Galigo Di Sulawesi Tenggara

Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahawa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeza iaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Beliau tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.

Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahawa beliau adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna iaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahawa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang berkahwin dengan Remmangrilangi’, bermaksud ‘Yang Tinggal Di Syurga’. Terdapat kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, sama ada anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.

Manakala nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).

La Galigo Di Gorontalo

Lagenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut lagenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu’ dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan ibubapanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahawa kembarnya telah berkahwin dengan raja negeri itu iaitu Hulontalangi. Maka, beliau bersama-sama dengan kekanda iparnya bersetuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membahagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin tentera berkeris manakala Hulontalangi memimpin terntera yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Cina untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, beliau terus berkahwin dengannya.

Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula terlihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudiannya berkahwin dengan gadis itu dan akhirnya meneyedari bahawa gadis itu adalh Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula denhan gelaran Lasandenpapang.

La Galigo Di Malaysia Dan Riau

Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Ianya dibawa sendiri oleh Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.

Ketika abad 15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh ‘Keraing Semerluki’ dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo’, dimana nama sebenarnya ialah Sumange’rukka’ dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.

Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke 15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dlaam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo’. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta’ Arung Palakka dari Bone. Ini menyebabkan ramai Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan Bugis tiba Di Selangor dibawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, seramai 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke 18, Daeng Matokko’ dari Peneki, sebuah daerah di Wajo’, menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adik beliau, La Ma’dukelleng, juga ke Johor. La Ma’dukelleng juga digelar sebagai Ketua Lanun oleh Belanda.

Walaubagaimanapun, keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka membuat penempatan di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dimahkotakan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Deang Parani berkahwin dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ke tiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella’ (berkahwin dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).

Pada abad ke 19, sebuah teks Melayu iaitu Tuhfat al-Nafis mengandungi cerita-cerita seperti didalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke’, menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan berkahwin dengan Datu Luwu’. Kisah tidak terdapat dalam La Galigo. Walaubagaimnapun, puteranya iaitu Datu Palinge’ berkemungkinan sama dengan watak didalam La Galigo.

Sumber : wikipedia

Sumber :http://kinazh.blogdetik.com/2008/08/19/la-galigo/