Kamis, 15 April 2010

PENELITIAN ARKEOLOGI ATAS LEGENDA LUWU PADA ZONA-ZONA TOPONIM DI KABUPATEN LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN

PENELITIAN ARKEOLOGI ATAS LEGENDA LUWU PADA ZONA-ZONA TOPONIM DI KABUPATEN LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN
Oleh : Tim Peneliti Balai Arkeologi Makassar

1. Situs Patande dan Salabu
Dalam naskah I La Galigo kedua situs ini merupakan toponim penting dalam wilayah kekuasaan kerajaan Luwu masa lalu yang disebut “wewangriu”.. Pada masa lalu nama Wewangriu adalah bentukan baru untuk sebuah desa yang terdapat di sebelah timur pelabuhan sungai Malili. Kedua situs ini terletak di tepi bagian selatan Sungai Larona yang membujur dari timur ke barat hingga pesisir pantai dan sekarang merupakan pemukiman padat penduduk . Secara astronomis kedua situs berada pada posisi 2° 38’ 13.0” Lintang Selatan dan 121°05’47.4” Bujur Timur atau 2°38’17.2”Lintang Selatan dan 121°05’32.6” Bujur Timur. Sedang secara administratif kedua situs tersebut termasuk dalam wilayah Desa Wewangriu, .Kecamatan Malili.
Sesuai informasi penduduk setempat pada beberapa waktu yang lalu bahwa seringkali mereka menemukan sejumlah besar wadah keramik, tembikar, gelang perunggu dalam penggalian barang antik tahun 1980-an serta berdasarkan hasil ekskavasi yang telah dilakukan oleh OXIS PROJECT tahun 1999, maka survei yang telah dilakukan di kedua situs ini berupa pengamatan lingkungan dan kolekting artefak berupa fragmen keramik dan tembikar yang berada di antara pemukiman penduduk, guna melengkapi data sebelumnya. Secara sporadis pada beberapa lokasi ditemukan adanya deposit midden kerang laut, selain itu, pada permukaan juga banyak dijumpai kerikil batu besi yang diduga sebagai limbah buangan dari PT. INCO atau memang krikil alamih yang merupakan pecahan bongkah-bongkah batu besi yang banyak terdapat pada bukit dan gunung di sekitar kota Malili.
Adapun artefak yang ditemukan berupa pecahan keramik dan tembikar, khusus temuan pecahan tembikar yang sebagian memiliki dekorasi dan sebagian juga ada yang polos. Sesuai dengan atribut berupa kulitas dan teknologinya diperkiran jenis tembikar yang ditemukan ini berasal dari masa pra-Islam, sedang fragmen keramik yang dikumpulkan berasal dari Dinasti Ming, Cing, Thailand dan Eropa yang diperkiran berumur antara abad 15-19 M. Secara fungsional pecahan-pecahan keramik yang ditemukan umumnya dari pecahan wadah mangkuk, piring dan tempayan. Walaupun toponim kedua situs ini tidak dilansir dalam legenda tokoh epik La Galigo, namun penemuan pecahan keramik dan tembikar memberi indikasi perangnya sebagai pelabuhan dagang yang memungkinkan kontak dengan Bandar-bandar yang letaknya sangat jauh.
Jika melihat kondisi dari morfologi bentang alamnya, tampak pelabuhan sungai Malili tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Pengaruh transpormasi alam, misalnya perubahan aliran sungai juga tidak tampak, mengingat sungai Malili dibentuk secara alami oleh cekungan perbukitan yang curam dan sangat tidak memungkinkan berubah arah karena meander bentukan baru. Oleh karena itu, situs-situs yang ada ditepi Sungai Larona ini sebagai pelabuhan dan memainkan peran melayani kapal-kapal niaga terus-menerus sejak abad XV M sampai sekarang. Sekarangpun Sungai Larona masih menjadi pelabuhan nelayan dan pelabuhan ekspor-inpor barang.

2. Situs Bola Marajae-Tamalipa-Tompotikka (Ussu)
Kedua situs ini terletak kurang lebih 10 kilometer di sebelah barat kota Malili (posisi GPS 02°35’75.3” Lintang Selatang dan 121°05’57.5” Bujur Timur) dan cukup terkenal dalam naskah La Galigo dan kedudukan magisnya bagi penguasa Luwu (Reid, 1990:108) dan sebagai “pusat nyata” Luwu (Bulbeck dan Prasetyo, 1997). Secara administrasi kedua situs ini termasuk dalam wilayah desa Ussu, Kecamatan Malili dan lokasinya berada di dasar kaki bukit dan lembah di pedalaman dimana Sungai Ussu melebar dan bercabang menjadi Sungai Malili. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh OXIS PROJECT tahun 1999 mengindikasikan bahwa kedua situs tersebut merupakan pusat lama Ussu. Khusus untuk Situs Bola Marajae adalah sebuah hutan yang terletak ditengah lembah yang dikelilingi oleh persawahan. Situs ini telah di ekskavasi tahun 1999 dan temuannya berupa pecahan-pecahan gerabah yang halus dengan kualitas pembakaran hampir sempurna. Data temuan itu menjadi dasar untuk menempatkan Situs Bola Marajae sebagai situs pemukiman yang diperkiran dari periode awal masehi. Dari survei yang dilakukan kali ini memperlihatkan kondisi lingkungan situs yang tertutup pepohonan dan belukar yang cukup lebat serta permukaan tanahnya digenamgi air. Kondisi ini menyebabkan pengamatan terhadap lingkungan dan kolekting temuan agak sulit. Di antara beberapa pepohonan di situs ini, dikenali beberapa tumbuhan diantaranya (kelapa, mangga, pinang, dll) yang mengindikasi bahwa situs ini pernah diokuvasi oleh manusia di masa lalu. Temuan arkeologis pada permukaan situs tidak banyak, itupun hanya terbatas pada bagian tanah yang tinggi dan tersingkap. Temuannya berupa pececahan-pecahan gerabah yang berukuran kecil dan sudah sangat aus.
Selanjutnya survei yang dilakukan di Situs Tamalipa sedikit terkendala oleh anggapan masyarakat setempat yang mengkeramatkan situs tersebut dan melarang tim memasuki wilayah keramat itu. Situs Tamalipa berada di dalam sebuah daerah yang cukup luas bernama Tompotikka, sebuah nama tempat utama dalam epik Lagaligo dan juga sebagai nama sebuah benteng di kota Palopo (Irfan, 1993). Wilayah Tompotikka juga meliputi Kuburan Islam (posisi GPS 2°35”17.0” Lintang Selatan dan 121°05”45.4” Bujur Timur) dan hutan yang berada tepat di atasnya. Beberapa penduduk sekitar yang kami temui memperlihatkan beberap wadah keramik hasil galian mereka. Dari sekian keramik penduduk itu dikenali berasal dari Vietnam dan Cina (Ming-Dehua) sekitar abad 14-15 M (OXIS PROJECT, 1999). Penggalian yang dilakukan oleh tim OXIS tahun 1999 di sektor kuburan itu tidak menemukan bukti arkeologis sesuai temuan penduduk sebelumnya. Demikian juga penggalian OXIS di sektor Taipa hanya menemukan benda arkeologis yang sangat muda, yaitu pecahan keramik dari abad 18-19 M.
Khusus survei yang dilakukan oleh tim Balar Makassar tahun 2008 di Sekitar situs Tompotikka yang di keramatkan dan dilarang masuk oleh penduduk setempat, tim menemukan beberapa lelehan besi (iron slag) dan beberapa pecahan gerabah polos tepat ditepi hutan belukar itu. Temuan tersebut memberi indikasi bahwa situs ini merupakan situs penting dalam wilayah Dinasti Luwu sekitar abad 12-14 M. Situs Ussu dalam naskah Lagaligo disebut sebagai pusat istana, namun dari beberapa penggalian dan survei yang dilakukan belum cukup data untuk menentukan sebuah situs sebagai pusat istana Luwu. Walaupun pengamatan tidak menyeluruh terhadap situs Tompotikka yang keramat itu, akan tetapi patut diduga situs ini adalah pusat istana atau mungkin juga situs tersebut hanya sebagai klaster pandai besi untuk membuat dan melebur besi Luwu, sedang istnanya berada di situs Bola Marajae ?.

3. Situs Katue (Cerekang)
Sama halnya di Ussu di wilayah Cerekang juga terdapat banyak tempat yang dikeramatkan oleh penduduk. Salah satu tempat yang dikeramatkan di Cerekang adalah Bukit Pensiwawoni. Tempat ini dipercaya sebagai tempat turunnya Sawerigading dari langit sehingga tempat ini sangat dijaga atau dilindungi, dan hingga sekarang lokasi ini menjadi tempat pengambilan air suci untuk keperluan upacara kerajaan Luwu di Palopo. Khusus Situs Katue oleh penduduk Cerekang tidak terlalu dikeramatkan sehingga tim peneliti dari Balar Makassar dapat memasukinya. Secara astronomi situs ini terletak pada posisi 2°35’25.1” Lintang Selatan dan 121°02’00.5” Bujur Timur (GPS) atau secara administrasi situs ini termasuk dalam wilayah Desa Manurung, Kecamatan Malili tepatnya di sisi timur Sungai Cerekang. Keterangan yang diperoleh dari penduduk setempat diketahui bahwa Situs Katue merupakan pemukiman tua-awal masyarakat Cerekang sebelum dipindahkan ke pinggir jalan poros Cerekang-Wotu oleh pemerintah Belanda sekitar tahun 1930-an. Nama Katue sebenarnya tidak ditemukan dalam epik Lagaligo atau teks klasik Bugis dan tidak terkait dengan legenda Sawerigading. Meskipun demikian pemberian nama Katue oleh masyarakat Cerekang memiliki arti “Tua”, yang menegaskan bahwa situs tersebut memiliki latar belakang sejarah cukup penting dan mungkin sekali telah di okuvasi pada periode Dinasti Luwu mulai muncul atau dari masa yang lebih tua lagi, yaitu periode neolitik hingga awal-awal masehi.
Ketuaan Situs Katue pertama kali terkuak dari hasil penelitian OXIS tahun 1999 yang menemukan sejumlah manik-manik kaca dan pecahan-pecahan tembikar serta artefak dari logam mulia. Berdasarkan pertanggalan relatif terhadap manik-manik kaca yang diduga berasal dari Cina itu, maka situs Katue di okuvasi dari abad X-XIV M (Bulbeck dan Prasetyo, 1999:43). Dari pertanggalan itu, maka Katue dapat dianggap bagian penting dalam pertumbuhan awal Dinasti Luwu yang disebut oleh Pelras, 1996 sebagai “Zaman Galigo”. Selanjutnya pengumpulan data lanjutan di situs Katue oleh tim penelitian Balar Makassar tahun 2008 ini dengan memperluas radius survei dari pusat konsentrasi temuan manik-manik yang terdapat di sekitar perkebunan coklat milik Bapak Daeng Makilo. Radius konsentrasi manik-manik dan tembikar kurang lebih 130 meter pada sumbu barat laut-tenggara. Dari pengamatan yang dilakukan pada permukaan situs, tampaknya temuan manik-manik dan tembikar hanya terlihat pada bagian tanah yang tersingkap untuk pembuatan parit pengairan pohon coklat saja. Sedang pada bagian tanah yang tidak tergarap (insitu), temuannya (artefak) sangat minim.

4. Situs Turunan Damar
Terletak di sekitar 2°32.7” Lintang Selatan atau 121°00.6” Bujur Timur, Turunan Damar adalah sebuah kawasan hutan luas yang masih digunakan untuk mengumpulkan damar sebelum diangkut lewat darat dari perbukitan di sekelilingnya. Dua anak sungai muncul dari hutan mengalir ke tepi hutan yang masih berpenghuni di tepi barat sungai Cerekang. Jejak pemukiman lama antara lain adalah pohon-pohon kebun yang sudah tua di tepi hutan, dan perkuburan Islam di dalam hutan yang terletak di bagian selatan situs. Survei yang dilakukan tim OXIS tahun 1997 menemukan fragmen keramik Cina dari Dinasti Ching (swatow) dan beberapa pecahan keramik Eropa, serta pecahan keramik dari wadah piring yang khas-unik dengan ciri hiasan segi tiga berukir dan jejak glasir timah. Dari ciri keramik tersebut diperkirakan berasal dari abad 14-15 M (Bulbeck dan Prasetyo, 1997). Sedangkan survei yang dilakukan oleh tim Balar Makassar tahun 2008 juga menemukan benda-benda modern dan pecahan keramik dari abad 17-18 M (Ching dan Eropa) yang jumlahnya tidak baanyak. Ciri keramiknya antara lain dekorasi biru coklat, tertimbun dan terkelupas. Dari survei dan artefak yang dikumpulkan, situs ini tampaknya dihuni oleh manusia pada periode belakangan, dalam pengertian tidak signifikan dengan sejarah pertumbuhan kerajaan Luwu sebagai pusat dan awal kemunculannya.

5 Situs Tampinna
Menurut tradisi lisan Luwu “Tampinna” telah menjadikan dirinya sebagai tempat aktivitas ekonomi dengan menjadi pusat ikat kayu untuk keris (sarung atau warangka) yang diproduksi di tempat lain di Luwu (Caldwell; Sumantri, 2007). Akses ke situs ini adalah dari kampung Turunan Bajo (pelabuhan orang Bajau) yang penghuninya masih mengakui dirinya sebagai keturunan bajo, walaupun dirinya menggunanakan bahsa Bugis ketimbang bahasa Bajau. Situs ini terletak di sepanjang perbatasan utara kanal dimana kanal Tampinna, Lakawali dan Langkasa bertemu, sebelum bersatu menuju ke laut sebagai satu sungai besar. Kawasan ini dilingkungi benteng tanah dan diapit dua kanal yang disebut sebagai Benteng Tampinna, meskipun dinding tanah benteng ini sudah tidak teramati lagi.
Posisi secara astronomi situs Tampinna adalah 2°37’.41” Lintang Selatan atau 120° 58’.31” Bujur Timur meruapakan sebuah hutan dengan vegetasi yang memperlihatkan bekas budidaya manusia di masa lalu. Sekeliling situs adalah tambak sehingga banyak tersingkap midden. Berdasarkan informasi penduduk setempat bahwa ketika mereka menggali tambak terkadang menemukan keramik tua dan tulang-tulang manusia serta serpihan maupun benda-benda perunggu dan besi. Selain itu, penduduk juga sering menemukan peti mati (duru=bahasa setempat) bersama-sama keramik, artefak besi (pedang, parang, pisau, mata tombak), gelang perunggu dan manik-manik. Sebagian dari temuan penduduk tersebut masih tersimpan, sehingga tim peneliti dapat memotret dan mengindentifikasi benda-benda tersebut (lihat foto temuan).
Survei yang dilakukan tim Balar Makassar tahun 2008 pada beberapa tempat di situs Tampinna berhasil mengumpulkan sejumlah pecahan keramik Cina dari abad ke-16 M terutama pada pematang-pematang tambak di sebelah barat bekas kotak gali tim OXIS tahun 1999. Selain itu, tim juga memperluas kisaran survei ke arah kompleks penguburan Islam dan hanya menemukan pecahan keramik Cina (Ming) abad 16 M. Tampaknya wadah keramik yang berisi abu dan tulang manusi atau kremasi maupun wadah penguburan dengan peti kayu (temuan penduduk) tidak mempunyai hubungan dengan pekuburan Islam tersebut, tetapi lebih dengan tradisi penguburan suku Bajau sesudah abad ke-14 M.

6. Situs Matano
Dalam batas administrasi, situs ini berada dalam wilayah kampung Matano, Desa Nuha, Kecamatan Nuha dengan posisi pada GPS adalah 2°27’24.2” Lintang Selatan dan 120°12’57.7’ Bujur Timur atau berada pada sisi barat Danau Matano yang merupakan salah satu danau terdalam di dunia (Reid, 1990: 109). Permukaan danau tersebut mencapai 509 meter di atas permukaan laut, namun dasarnya berada 80 meter di bawah permukaan laut. Palung yang terjal membelah dasar danau ini yang mengandung batu kapur di barat dayanya dan batu besi disebelah utaranya. Merefleksi potensi yang sangat berbeda untuk pertanian dari dua dasar geologis ini, kebanyakan kaki bukit di sepanjang sisi barat daya digunakan untuk ladang, sementara hutan utama berada di sepanjang sisi utara. Operasi penambangan nikel terbesar di dunia yang dikelola PT. INCO berlokasi di perbukitan Soroako tepat di sebelah tenggara danau ini. Potensi Kampung Matano sebagai situs arkeologis-historik, khususnya dalam menemukan biji besi bermuatan nikel, pertama kali dibawa ke dunia ilmuan oleh Caldwell (1993-1994). Bahkan, sebagian besar kampung ini berada di atas limbah penempaan besi (iron slag) dengan ketebalan setengah meter berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh OXIS tahun 1999. Selanjutnya ekskavasi OXIS pada tiga titik (Rahampuu, Pangkaburu dan Lemogolla) di Matano telah menunjukkan bahwa situs ini merupakan situs pertambangan dengan temuan pendukung berupa lelehan besi dan tungku peleburan, fragmen tembikar serta serpihan-serpihan batu yang diperkirakan sebagai pemantik api (Bulbeck, 1999).
Survei tim Balar tahun 2008, selain menambah data sebelumnya juga sekaligus mencari data baru untuk mendukung hipotesa bahwa besi bermuatan nikel dikerjakan dan diekspor ke Jawa sebagai pamor Luwu pada abad ke-13 Masehi. Namun data artefaktual yang ditemukan dalam penelitian ini, hanya berupa terak besi dan beberapa pecahan tembikar serta pecahan keramik dari masa yang lebih muda. Tidak ditemukannya keramik tua di situs tersebut kemungkinan karena situs ini tidak menjadi pemukiman pada masa itu (sekitar abad 13), dan hanya tempat menggali biji besi yang bermuatan nikel untuk ditempa di tempat lain (mungkin Ussu atau Cerekang ?).

7. Situs Wotu
Wotu sekarang merupakan nama sebuah kecamatan dalam wilayah administrasi Kabupaten Luwu Timur. Wilayah ini terletak pada formasi dataran alluvial pantai Teluk Bone di suatu lembah sebelah barat Sungai Kalaena atau secara astronomi berada pada posisi 2°36’935” Lintang Selatan dan 120°48’156” Bujur Timur. Secara umum bentang alam Wotu tersusun oleh morfologi dataran rendah, merupakan daerah rawa dan perbukitan yang berdasarkan prosentase kemiringan lereng dan beda tinggi relatif. Wotu terdiri dari beberapa satuan morfologi, yaitu satuan morfologi pedataran, pedataran bergelombang lemah dan satuan pedataran bergelombang kuat. Penduduknya terdiri dari dua komunitas besar, yaitu orang Wotu dan Bugis yang basis pencahariannya adalah petani dan nelayan. Di dalam kawasan Kecamatan Wotu juga digunakan dua bahasa, yaitu bahsa Wotu yang dituturkan oleh orang Wotu asli yang diduga mempunyai hubungan linguistik dengan bahasa Muna-Buton (Wolio) dan bahasa Bugis yang dianggap bahasa para migran dari negeri selatan. Namun, masyarakat Wotu sehari-hari sangat unik dalam komunikasi dibandingkan dengan daerah Luwu lainnya, karena orang Wotu bisa menggunakan dua bahasa tersebut (bilingual) (lihat, Fadillah dan Hakim, 1998).
Sejarah Wotu sekarang umumnya tinggal serpihan ingatan orang-orang berumur tsenja. Informasi-informasi cikal-bakal leluhur dan geohistoris Wotu diperoleh dari sumber tutur. Menurut salah satu tokoh masyarakat Wotu Bapak Arsyad mengatakan Wotu juga pernah memiliki naskah tertulis berupa lontara yang memuat sejarah dan legenda tentang perkembangan masyarakat Wotu sekitar abad XV-XVI M dalam kaitan dengan eksistensi Luwu sebagai sebuah entitas politik berpengaruh di tanah Bugis.
Dinamika sejarah-kebudayaan di atas sangat menarik diinvestigasi. Hal ini untuk memperlihatkan bukti empiris dan menegaskan beberapa hal yang patut dipercaya secara ilmiah dan bukan sekedar mitos. Sayangnya, hasil investigasi menunjukkan data yang kurang mendukung legenda masa protosejaraah Wotu, sebagaimana tergambarkan pada situs-situs di bawah ini;
Situs Mulataue, toponim Mulataue seperti yang diceritakan dalam legenda Wotu sebagai suatu daerah yang menjadi asal penguasa Luwu atau tempat dimana Batara Guru dan Oro Keling membuka ladang pertama kalinya. Dari investigasi yang dilakukan oleh tim Balar tahun 2008, situs ini sekarang hanya tampak merupakan tanah pertanian yang basah dan selalu banjir akibat terkonsentrasinya air hujan setelah pada bagian timur areal ini dibangun tanggul. Sampai sekarang, penduduk masih menanam padi dan beberapa ladang palawija di sela-sela persawahan, Pada saat investigasi arkeologis dilakukan, daerah ini dalam keadaan pasang sehingga sulit mencapai pusat yang disebut sebagai ”Mulataue”.
Jika melihat kondisi situs ini yang terus dibajak, maka kemungkinan besar apabila benar tempat ini adalah sebuah situs, maka sisa pemukiman yang pernah ada bisa sangat terganggu (distrub). Demikian pula, banjir akan menyulitkan pengamatan secara arkeologis. Kondisi situs yang demikian, sehingga tidak ditemukan artefak yang dapat membuktikan legenda di atas.
Situs Bukit Lampanae; dalam bahasa Wotu “Lampanae” gunung yang menyerupai parang. Bukit Lampenae terletak di sebelah timur laut kota Wotu yang dipisahkan dengan dataran rendah (rawa) dengan dataran tinggi di bagian utara. Kunjungan tim Balar di bukit ini belum berhasil menemukan artefak yang menunjang bahwa tempat ini sebagai suatu pemukiman tua, sebagaimana yang diceritakan dalam lagenda Luwu yang menyebut bahwa tempat ini sebagai kampung awal dari Sawerigading. Bukit Lampanae ditumbuhi pepohonan yang cukup rimbun sehingga menjadi hutan sekunder. Pada bagian bukit yang tersingkap tampak terlihat lapisan batuan beku dan breksi.
Situs Benteng Wotu; termasuk dalam wilayah Desa Lampenai, Kecamatan Wotu. Keadaan sekarang hanya berupa sisa gundukan tanah yang ditutupi rerumputan dan terletak di antara permukiman penduduk yang padat. Akibat perluasan pemukiman dan pembuatan jalan, sehingga dinding benteng yang tersisa tinggal sekitar 20%.. Menurut keterangan penduduk setempat, benteng ini berbentuk persegi dan di dalamnya terdapat sebuah sumur tua dan makam (sekarang masih ada).
Pada kompleks bentang ini juga terdapat beberapa toponim yang berkaitan dengan eksistensi pusat politik Wotu, yaitu Saleko dan Bangkolo. Bangkolo menurut keterangan penduduk sebagai tempat pelantikan raja dan Saleko hanya berupa gundukan tanah setinggi 50 meter yang terletak di tepi sungai. Artefak yang ditemukan dalam survei tahun 2008 ini hanya berupa pecahan keramik Cina dari abad kemudian 16-17 M dan keramik Eropa abad 18-19 M. Hal ini, memberi petunjuk bahwa bentang ini dipergunakan pada masa Islam.

Sumber: http://www.arkeologi-makassar.com/dtlbrt.php?id=27

1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
    dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
    berikan 4 angka [7273] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
    dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
    ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
    allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
    kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
    sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
    yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA WARSITO,,di no (((085-342-064-735)))
    insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 870 JUTA , wassalam.


    dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....







    Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


    1"Dikejar-kejar hutang

    2"Selaluh kalah dalam bermain togel

    3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel


    4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat


    5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
    tapi tidak ada satupun yang berhasil..







    Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI JAYA WARSITO akan membantu
    anda semua dengan Angka ritual/GHOIB:
    butuh angka togel 2D ,3D, 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
    100% jebol
    Apabila ada waktu
    silahkan Hub: KI JAYA WARSITO DI NO: [[[085-342-064-735]]]


    ANGKA RITUAL: TOTO/MAGNUM 4D/5D/6D


    ANGKA RITUAL: HONGKONG 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; KUDA LARI 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; SINGAPUR 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; TAIWAN,THAILAND



    ANGKA RITUAL: SIDNEY 2D/3D/4D



    DAN PESUGIHAN TUYUL

    BalasHapus