Kamis, 15 April 2010

Warisan Nenek Moyang Luwu Timur di Tangan Orang Lain

SENJATA DARI MATANO

SATU hari yang cerah, Paul Savoy general manager PT Inco berikut isteri dan kawannya, Dr Bell, pergi menyelam di danau Matana. Menyelam lengkap dengan tabung zat asam (scuba diving) memang satu-satunya rekreasi dan olahraga yang digemari orang-orang di tambang nan terpencil itu. Tak diketahuinya, bahwa acara menyelam hari itu bakal membuka tabir yang sudah lama terkatup di bawah air Menyusuri tebing kapur di pinggir danau No. 2 terdalam di dunia itu, tiba-tiba pada kedalaman 13 meter mereka menemukan mulut gua di tebing bawah air itu. Savoy dan Bell terus masuk. Apa yang mereka temukan di dalamnya? Mulut gua itu hanyalah pintu masuk ke gua yang lebih besar, dan di gua kapur bawah air itu mereka temukan beberapa kerangka eks manusia dan sejumlah besar senjata tajam - tombak, parang dan pedang. Dibantu oleh isteri mereka, kedua orang asing itu mengangkut sejumlah senjata tajam itu keluar dari gua, terus ke permukaan danau di mana pesawat amfibi Lake Buccaneer milik perusahaan diparkir. Ada 25 senjata tajam yang dibawa Dr Bell ke rumahnya, dan pasangan Paul dan Lilian Savoy juga membawa squmlah besar senjata tajam untuk hiasan di rumahnya. Ketika wartawan TEMPO G.Y. Adicondro bertandang ke rumah orang Perancis itu di Soroako, tinggal 7 buah yang tergantung di dinding. Ukurannya macam-macam. Mulai dari pedang yang panjangnya � meter lebih, sampai ujung lembing yang hanya sqengkal. "Meskipun anda berminat, kami tidak mau memberikan sebuah pun pada anda, atau siapa pun juga. Sebab hanya tujuh buah itulah yang tinggal milik kami. Banyak yang kami berikan pada orang, yang janji mau menanyakan umur senjata-senjata tajam itu di museum, tapi sampai sekarang tidak ada yang mengabarkan jawabannya pada kami", kata Lilian yang ikut menyelami 'harta karun' itu. Harta karun, memang bolehlah barang-barang itu disebut begitu. Sebab di kota tambang Soroako itu, tidak ada yang tahu pasti berapa umur senjata-senjata tajam yang diangkut Paul Savoy dan Dr J.A.E. Bell dari tebing danau itu. Orang mulai menduga-duga bahwa itu senjata purba, namun dari bentuknya yang rada kontemporer, dugaan itu dilepaskan. Lantas orang mulai menduga-duga, bagaimana puluhan senjata tajam itu sampai tergeletak di gua kapur, 13 meter di bawah muka air bersama kerangka-kerangka manusia. Ada yang beranggapan, gua kapur di bawah air itu memang kuburan penduduk asli daerah Soroako mengingat tradisi tetangga mereka orang Toraja mengubur mayat di gua-gua di tebing gunung. Namun bagaimana caranya mengubur orang di bawah air? Kalau mayat sekedar dibuang ke dasar danau dari perahu, bisa hancur sebelum sampai ke dasar danau yang dalamnya 645 meter itu. Untuk dapat memasukkannya ke gua bawah air, penduduk asli di pinggir danau Matana harus punya kemampuan menyelam sampai kedalaman 13 meter. Tanpa tabung zat asam, jadi hanya mengandalkan paru-paru alam, mana mungkin mereka menyelam sampai kedalaman itu membawa mayat dan senjata tajamnya, kemudian menyusup masuk ke gua yang pintunya tidak seberapa besarnya. Lebih Banyak Oke, katakanlah itu kuburan di bawah air. Tapi mengapa senjata-senjata tajam sebanyak itu pun ditumpuk di gua itu, jauh lebih banyak dari pada yang dapat digunakan oleh jenazah-jenazah itu di alam baka? Makanya ada yang berpendapat, bahwa senjata-senjata sebanyak itu memang sengaja disembunyikan orang-orang tertentu di gua kuburan itu. Lantas siapa yang menyembunyikannya? Untuk tidak terlalu berpaling ke zaman dulu, ada yang berpendapat bahwa senjata-senjata itu adalah hasil razzia yang dilakukan gerombolan Kahar Muzakkar di daerah itu untuk mencegah perlawanan penduduk. Suatu tempat penyimpanan yang memang hebat, yang mestinya diberitahukan pada gerombolan DI-TII itu oleh penduduk asli yang tahu adanya gua-kuburan bawah air itu. Meskipun bentuknya rada kontemporer - kecuali gagang pedang dan parang yang rada antik, dekoratif - toh ada yang tidak puas menerima besi itu sebagai baja modern. Maklumlah, dalam cyclopaedia Britannica jilid 5 ada disebutkan, bahwa daerah Luwu (dulu kesultanan, kini kabupaten), di mana danau Matana berada, terkenal karena pandai besinya. Bahkan nama Sulawesi sendiri, menurut seorang geolog Inco, B.N. Wahyu, berasal dari sula (= ujung lembing) dan wesi (= besi). Atau menurut penuturan orang-orang Makassar, istilah Belanda, "Celebes" sendiri berasal dari kata-kata Makassar selle-selle bassi (=menempa besi). Romusha Semuanya itu menunjukkan, dan hal ini masih dapat dipertegas oleh orang-orang tua di Soroako, bahwa daerah itu dulu dikenal karena pandai-pandai besi di situ dulu mampu membuat senjata-senjata tajam dari bijih besi, nikel dan mangaan yang membuat kesultanan luwu jaya sebelum kedatangan orang-orang Barat ke Indonesia. Namun B.N. Wahyu yang juga menjabat sebagai Manajer Humas PT Inco punya teori lain: di masa pendudukan Jepang ahli-ahli negeri Sakura itu dengan bantuan romusha, tentunya - membangun jalan kereta api di Tanah Toraja. Namun setelah Jepang angkat kaki, jalan kereta api itu terbengkalai (seperti juga di Sumatera Tengah). Rel-relnya dilego sebagai besi tua, dan sebagian terdampar di sekitar danau Matana dan ditempa menjadi senjata tajam oleh pendudluk setempat yang masih mewarisi kepandaian nenek-moyangnya. Nah, sekarang senjata-senjata tajam itu - ada yang dimiliki Philip Jessup, Jr, manajer PT Inco di Jakarta - tinggal diuji komposisi logamnya oleh ahli metalurgi. Apa itu baja primitif, atau baja modern. Tapi siapa tahu, orang Muangthai pun sudah mampu membuat kuningan sebelum ilmu itu menyebar ke India, Tiongkok dan Timur Tengah. Dari tambang-tambang lokal, lagi.

Sumber :http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1976/12/11/ILS/mbm.19761211.ILS70671.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar