Jumat, 14 Mei 2010

REINTERPRETASI DAN REKONSTRUKSI SEJARAH PERADABAN BUGIS: SEBUAH DRAFT PENGANTAR DISKUSI

Meskipun pendapat Profesor Arysio Santos, Geolog dan Fisikawan nuklir asal Brasil yang melakukan penelitian atas keberadaan Atlantis selama 30 tahun dan mempublikasikannya lewat buku, “Atlantis: The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” masih diperdebatkan mengingat hingga kini belum ada ekspedisi khusus untuk mencari lokasi Atlantis di kawasan nusantara sekarang, tapi hampir ---kalau tidak semua--- analisis, argumen dan bukti yang dipaparkannya sesuai dengan akal sehat dan fakta. Menurut Santos, Atlantis merupakan benua yang membentang dari India bagian selatan ke Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Paparan Sunda sebagai sebuah daratan.

Menurut Plato, Atlantis merupakan kawasan yang maju dan makmur serta bermandikan matahari sepanjang waktu, memiliki kekayaan alam seperti bahan tambang logam dan mineral, rempah-rempah, sistem bercocok tanam yang maju, memiliki ilmu pegetahuan, dan teknologi yang tinggi sehingga menjadi pusat peradaban dunia pada zamannya. Benua ini menghilang akibat letusan beberapa gunung berapi yang terjadi secara serentak sehingga menimbulkan gempa, pencairan es, banjir, serta gelombang tsunami besar yang menaikkan permukaan air laut sekitar 130 hingga 150 meter. Peristiwa bencana alam tersebut antara lain mengakibatkan:
1. Berakhirnya zaman es pleistosen secara dramatis;
2. Terbukanya Selat Sunda yang memisahkan pulau Jawa dengan Sumatera;
3. Tenggelamnya sebagian permukaan benua Atlantis hingga hanya dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak gunung yang tersisa sebagai pulau-pulau baru;
4. Hilangnya hampir 70 persen spesies mamalia yang hidup pada masa itu;
5. Tidak terhitung manusia-manusia Atlantis yang menjadi korban;
6. Manusia-manusia Atlantis yang selamat mengungsi ke dataran-dataran tinggi atau puncak pengunungan yang tidak tenggelam dan telah berubah menjadi pulau atau menyeberang ke Asia daratan.

Bencana alam besar tersebut, oleh para ahli diperkirakan terjadi 3 kali sehingga meski mampu menenggelamkan kawasan itu tepat pada akhir zaman es sekitar 11.600 tahun yang lalu, masih terdapat sejumlah komunitas penduduk yang sempat menyelamatkan diri dengan mengungsi. Di kawasan yang baru, mereka melahirkan aneka bentuk peradaban baru yang bertebaran pada semua pulau besar dan sebahagian pulau kecil yang berada di kawasan yang disebut Asia Tenggara dan Nusantara ini hingga ke Asia daratan.

Sebelum Peradaban Atlantis berkembang dan mengalami kehacuran, juga telah ada peradaban sebelumnya, yakni Peradaban Lemuria atau Mu disekitar tahun 75000 SM – 11000 SM. yang masih sempat hidup bersama selama ribuan tahun lamanya dengan Peradaban Atlantis. Kedua peradaban yang masih berkaitan masa dan generasi ini, secara geografis hidup berdekatan, yakni Peradaban Atlantis berpijak di atas kawasan Asia Tenggara dan Peradaban Lemuria bertapak di atas Samudera Pasifik. Kedua peradaban besar ini mengalami kehancuran akibat bencana banjir besar. Pemikiran tentang hal ini antara lain berasal dari Augustus Le Plongeon (1826-1908), seorang peneliti dan penulis pada abad ke-19 yang mengadakan penelitian terhadap situs-situs purbakala peninggalan Bangsa Maya di Yucatan. Keberhasilannya menerjemahkan beberapa lembaran catatan kuno peninggalan Bangsa Maya memberikan gambaran bahwa Bangsa Lemuria memang berusia lebih tua daripada peradaban leluhur Bangsa Maya yang merupakan Manusia Atlantis. Keadaan Lemuria digambarkan sangat mirip dengan peradaban Atlantis, memiliki tanah yang subur, masyarakat yang makmur dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang mendalam sehingga berkembang pesat menjadi sebuah peradaban yang maju.

Para ahli kemudian mengungkapkan bahwa semua bangsa-bangsa Ras Nusantara yang ada sekarang adalah berasal dari satu keturunan generasi manusia purba Meganthropus Paleo Nusantaraicus dan generasi-generasi Hominid dan Homo lainnya yang fosil-fosilnya telah ditemukan di berbagai pulau dan daerah yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Jika hipotesis tentang Lemuria dan Atlantis ini benar maka sangat sulit untuk membantah bahwa bangsa-bangsa Ras Nusantara sejak zaman yang lampau hingga saat ini berasal dari Manusia-manusia Lemuria dan Atlantis.

Dalam buku “Eden in the East: The Drowned Continent Asia Tenggara”, Dr Stephen Oppenheimer menulis tentang pengaruh yang besar akibat tenggelamnya benua ini. Hal ini terjadi selama periode 15.000 hingga 7.000 tahun yang lalu. Beliau menguraikan bahwa banjir besar tiga periode tersebut telah menenggelamkan Sundaland nama lain dari benua Atlantis dan menciptakan pulau Jawa dan Laut Cina Selatan serta ribuan pulau yang membentuk Indonesia dan Filipina saat ini. Beliau juga menegaskan bahwa akibat banjir besar tersebut telah terjadi migrasi dari kawasan Asia Tenggara ke Asia daratan.

Studi lain yang digerakkan oleh Universitas Leeds dan diterbitkan pada bulan Mei 2008: “Molecular Biology and Evolution” membuktikan bahwa sebagian besar dari garis-garis DNA mitokondria (diwarisi oleh keturunan perempuan) telah berkembang di kawasan Asia Tenggara untuk jangka waktu yang lebih lama, yakni sejak manusia modern tiba sekitar 50.000 tahun yang lalu. DNA menunjukkan garis keturunan penduduk pada waktu yang sama dengan naiknya permukaan laut dan juga menunjukkan migrasi ke timur yakni New Guinea dan Pasifik, dan ke barat yakni daratan Asia Tenggara termasuk Taiwan, selama 10.000 tahun terakhir.

Ahli lainnya juga telah mengungkapkan bahwa leluhur bangsa-bangsa Asia sebelumnya berasal dari Afrika, yakni sekitar 100.000 tahun lalu. Mereka meninggalkan Afrika lalu menyusuri sepanjang pesisir selatan ke arah timur dan lebih dulu berpusat di Asia Tenggara sekitar 60.000 tahun lalu. Setelah itu mereka menyebar ke berbagai kawasan utara di Asia. Hal ini antara lain dikemukakan oleh Prof Dr Sangkot Marzuki (Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman) yang membantah bahwa bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan sebagaimana pendapat yang berkembang sebelumnya.

Beliau membuktikan teorinya dengan menunjukkan penyebaran genetik yang makin ke selatan semakin heterogen, dan makin ke utara semakin homogen. Riset yang memakan waktu tiga tahun dan telah dirilis di Jurnal Science pada 10 Desember 2009 dengan judul: “Mapping Human Genetic Diversity in Asia” tersebut dilakukan oleh lebih dari 90 ilmuwan dari konsorsium Pan-Asian SNP (Single-Nucleotide Polymorphisms) dinaungi Human Genome Organization (Hugo) yang meneliti 73 populasi etnik Asia dengan menggunakan sekitar 2.000 sampel di 10 negara (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, India, China, Korea, Jepang, dan Taiwan).

Ribuan tahun pasca bencana alam besar, manusia-manusia Atlantis tersebut telah membangun dan mengembangkan peradabannya masing-masing menjadi komunitas-komunitas bertuan dalam bentuk negara kerajaan. Negara-negara kerajaan kecil dan besar tersebut kemudian mengembangkan dan membuka pelayaran dan perdagangan antar pulau Nusantara dan dengan negeri-negeri luar Nusantara. Komoditi yang mereka perdagangkan antara lain adalah: padi-padian, emas, perak, timah, rempah-rempah, alat-alat besi, perunggu, gading gajah dan lain-lain.

Sekitar tahun 1500 – 1000 SM, bangsa-bangsa Ras Atlantis atau Sunda Land atau Nusantara telah melakukan kontak dagang dengan berbagai negara lain seperti Damaskus yang pada waktu itu dibawah pemerintahan Nabi Sulaeman (King of Solomon) yang sudah merupakan pusat perdagangan rempah-rempah yang didatangkan dari kawasan Nusantara lewat jalan laut ke Kwang Tung (Kanton) di negeri Cina, terus lewat jalan darat (jalan sutera) ke Damaskus.

Raja Sulaeman (Salomon) mengutus orang-orang Phoenesia dari Sidon untuk membeli kamper (kapur Barus) dan kemenyan di pelabuhan Singkil dan Barus Sumatera guna memenuhi kebutuhan bangsa-bangsa Hemitik dan Semitik (Arab) di Timur Tengah dan Mesir Kuno. Para pedagang bangsa Phoenesia sebelum zaman Rumawi dan Yunani telah datang ke Pelabuhan Natal untuk membeli emas yang daerah pertambangannya di Mandailing, Tanah Batak Selatan.

Demikian pula pulau-pulau Nusantara lainnya dapat dipastikan telah dikunjungi oleh para pedagang internasional yang mencari komoditi kebutuhannya ke sumber asal produksinya, seperti rempah-rempah dari Maluku dan besi dari Sulawesi yang manusia dan sejarah kehidupannya akan menjadi fokus pembahasan dalam draft pengantar diskusi ini.

Diperkirakan bahwa jauh sebelum kelender miladiyah berlaku, kawasan Teluk Bone dan Tappareng Karaja telah menjadi ajang perdagangan, tempat transit dan pintu gerbang ke “Jazirah al-Mulk” (sebutan saudagar Arab terhadap Maluku) yang merupakan kerajaan semenanjung pada pulau Ternate, Ambon dan Banda yang oleh tabib Portugis, Tome Pirez dalam bukunya “Summa Oriental” disebut sebagai “The Spices Island” (Pulau Rempah) dan oleh imprealis Belanda disebut “The Three Golden from The East” (Tiga Emas dari Timur). Berbagai jenis logam dan rempah-rempah (serta kemudian budak) sejak zaman Mesir Kuno telah menjadi komoditi ekonomi penting yang banyak bersumber di Benua Kepulauan ini.

Penamaan atas Pulau Sulawesi yang diperkirakan oleh para pakar telah dihuni manusia sejak 30.000 tahun yang lalu, minimal terdapat dua versi. Pertama berasal dari kata “sula” yang berarti “pulau” dan “wesi” yang berarti “besi”, Sulawesi berarti “pulau besi”. Penamaan yang kedua berasal dari kata “selle” yang berarti “sesuatu yang diselipkan (dipinggang)” dan “bessi” yang berarti “besi”, Sulawesi berarti “pulau yang penduduknya selalu menyelipkan besi (kawali, tappi’, dan sebutan lainnya) di pinggang”. Terlepas dari benar tidaknya, kedua pengertian di atas minimal menunjukkan bahwa Sulawesi sebagai pulau yang identik dengan besi. Hal ini sejalan dengan realitas historis yang berkembang bahwa sejak dahulu kala Sulawesi merupakan daerah penghasil besi dan manusianya selalu menyelipkan senjata (besi) di pinggang. Besi Sulawesi yang penambangan dan pengolahannya berpusat di Lembah Sungai Ussu merupakan salah satu komoditi andalan kawasan Teluk Bone dan Tappareng Karaja yang memasok kebutuhan besi dan nikel negara-negara kerajaan lainnya di Pulau Jawa, Pulau Sumatera dan lain-lain, jauh sebelum lahirnya Negara dan Bandar Niaga Gowa dan Tallo yang pada waktu itu masih berupa kampung nelayan yang kadang disinggahi untuk mengambil perbekalan air tawar.

Para saudagar Arab yang telah berniaga di Benua Nusantara hingga memasuki kawasan Teluk Bone dan Tappareng Karaja menyebut Sulawesi sebagai “Sholibis”. Sedangkan imprealis Eropa (Belanda, Portugis, Spanyol dan lainnya) menyebutnya dengan nama “Celebes”. Hingga saat ini pulau Sulawesi masih kaya bahan tambang yang meliputi besi, tembaga, emas, perak, nikel dan lain-lain yang sejak awal telah menjadi profesi teknologis penduduknya dan telah menjadi komoditi ekonomi yang strategis politis dalam konteks hubungan perdagangan internasional pada waktu itu.

Manusia Toraja, Wotu, Pamona, Topadoe, Tolaki, Kaili dan penghuni Dataran Tinggi lainnya merupakan manusia-manusia penghuni awal Pulau Sulawesi yang sangat mungkin adalah sisa-sisa manusia Atlantis yang kemudian berbaur dengan imigran dari Asia Daratan (Proto Melayu) yang sebelumnya juga adalah sangat mungkin Manusia Atlantis. Proses interaksi dan akulturasi mereka yang panjang membuahkan peradaban awal di Dataran Rendah Lembah Sungai Ussu. Pengaruh Peradaban Lembah Sungai Ussu pada waktu itu minimal melingkar sepanjang lengkungan pesisir Teluk Bone, menyusur Sungai Cenrana hingga sepelingkar Tapareng Karaja yang di sebelah baratnya disebut Ajang Tappareng, menyusur sungai Sa’dang yang melintas “Massenrengpulu” (Lembah-Lereng Kaki Gunung Bambapuang) hingga ke Tana Toraja “Tondok Lili'na Lapongan Bulan Tana Matari'allo” (Negeri yang bulat seperti Bulan dan Matahari) dan juga tembus menyisir pesisir Selat Makassar. Lainnya ke utara, menyebar ke berbagai ekosistem pada berbagai kawasan di jantung Pulau Sulawesi hingga ke Tompo Tikka (sekarang Luwuk Banggai Sulawesi Tengah), Lipu’ Wadeng (yang meliputi Gorontalo dan Sulawesi Utara), Negeri Wolio (yang meliputi Buton, Muna dan kepulauan satelitnya) dan lain-lain.

Proses perkembangan Peradaban Lembah Sungai Ussu dinahkodai oleh tampuk kekuasaan Kerajaan Luwu yang berpusat di Ware’. Meskipun Kerajaan Luwu bukan merupakan kerajaan tertua melainkan kerajaan yang seusia dan setara dengan kerajaan tua atau awal lainnya tapi dengan kepemimpinan yang baik, Batara Guru mampu menyatukannya. Batara Guru Puang-na/Opungna Ware’ yang diduga kuat adalah keturunan penguasa pegunungan (Rante Kambola?) yang disebut To Di Langi’ merupakan penguasa pertama yang menghimpun dan mengatur berbagai tata pemerintahan tradisional yang tersebar di kawasan pengaruhnya yang masih mengabaikan batas geografis administratif. Tata Pemerintahan Tradisional (TPT) tersebut tersebar di berbagai wilayah komunitas etnik (Toraja, Wotu, Pamona, Topadoe, Tolaki dan lain-lain) dalam bentuk komitmen persahabatan, persaudaraan, per-anak-an atau pertuanan politik kepada Batara Guru, Yang Dipertuan di Ware’.

TPT yang terbentuk antara lain adalah Tata Pemerintahan Makole, Tata Pemerintahan Maddika, Tata Pemerintahan Arung, Tata Pemerintahan Addaowang, Tata Pemerintahan Datu/Addatuang, Tata Pemerintahan Matowa/Macowa, Tata Pemerintahan Mara’dia dan berbagai turunannya masing-masing bertumbuh dengan baik seiring dengan kedatangan kelompok imigran baru Deutro Melayu yang datang dari Yunan. Kedatangan imigran baru yang juga diduga kuat keturunan Manusia Atlantis ---dengan tingkat pengetahuan dan skill yang berbeda--- membawa berbagai perubahan yang berakibat pada timbulnya berbagai proses seleksi sosial kultural. Hal ini menuntun dan bahkan memaksa masyarakatnya yang beragam komunitas tersebut memilih profesi sesuai dengan kecenderungan, minat, bakat dan bahkan wilayah domisilinya masing-masing.

Pada umumnya, masyarakat ---secara individu atau kolektif--- yang relatif masih statis dan masih agak koservatif memilih berdomisili di ekosistem dataran tinggi dengan aktivitas yang lebih dominan pada produksi bahan pangan dan kerajinan serta berbagai kepandaian lainnya. Sedangkan yang dinamis dan modernis memilih berdomisili di ekosistem dataran rendah dengan mengembangkan berbagai aktivitas perdagangan dan jasa serta lainnya. Lalu atas berbagai motif, alasan dan tujuan, kedua komunitas berbeda ekosistem yang sedang berkembang tersebut menciptakan pilihan ketiga sebagai konsekuensi dan solusi atas laju perkembangannya dalam bentuk pelayaran niaga (perdagangan) dan perantauan ke seberang lautan yang penuh harapan.

Latar historis seperti inilah yang membentuk apa yang disebut kosmogoni Manusia Bugis dalam tiga ranah yang cenderung dimaknai secara harfiah, yakni Boting Langiq sebagai kehidupan di langit atau Dunia Atas, Ale Kawaq sebagai kehidupan di bumi atau Dunia Tengah dan Buriq Liu sebagai kehidupan bawah tanah/laut atau Dunia Bawah.

Kosmogoni tersebut sebagaimana termaktub dalam Kitab Lontaraq La Galigo, sebenarnya akan lebih realistis, rasional dan fungsional jika ditafsirkan sesuai dengan proses pembentukannya secara sosial budaya sepanjang sejarahnya. Penafsiran atas apa yang disebut kosmogoni tersebut tidaklah menjadi ahistoris jika dimaknai sebagai berikut:
a. Boting Langiq dimaknai sebagai Ekosistem Dataran Tinggi dan bukan sebagai kehidupan di langit;
b. Ale Kawaq dimaknai sebagai Ekosistem Dataran Rendah dan bukan sebagai kehidupan di bumi secara keseluruhan;
c. Buriq Liu dimaknai sebagai Ekosistem Laut dan Rantau dan bukan sebagai kehidupan di bawah tanah atau di bawah laut.

Penafsiran atau pemaknaan seperti ini diniscayakan dapat menghindari bentuk-bentuk pendongengan sejarah, mistifikasi peristiwa, bias penerjemahan dan pemaknaan sastra Kitab Lontaraq La Galigo serta bias rentang waktu penggunaan bahasa yang berpotensi menimbulkan mitologi yang absurd, sekaligus amnesia sejarah bagi generasi pewarisnya.

Penafsiran atau pemaknaan ini diharapkan dapat menghubungkan dan menempatkan subyek dan obyek secara harmonis dan realistis sehingga betapapun tebalnya lapis waktu yang telah terpintal dalam memori sejarah senantiasa dapat terekam oleh prilaku dan kelembagaan pewarisnya hari ini, tanpa beban anakronisme yang berarti.

I. Tatanan Masyarakat Boting Langiq (Ekosistem Dataran Tinggi)

Dampak dari kedatangan imigran baru yang memiliki tingkat pengetahuan dan skill yang berbeda membawa berbagai perubahan yang berakibat pada timbulnya proses seleksi sosial kultural. Sebagian Masyarakat Ware’ dan TPT satelit-satelitnya ---secara individu atau kolektif--- yang terdiri atas Manusia Toraja, Wotu, Pamona, Topadoe, Tolaki dan lain-lain yang terbebani proses seleksi sosial kultural, masing-masing menghimpun diri merambah kawasan baru atau kembali ke habitat asalnya di dataran tinggi yang lebih sesuai dengan kecenderungan agraris dan kemampuan adaptifnya. Proses migrasi lokal (remigrasi) yang evolusioner itu, selain mempengaruhi aktivitas, corak dan tradisi, juga semakin mengentalkan kesamaan latar dan primordialitas masyarakatnya.

Sebagai contoh, Manusia Toraja yang terjebak pada pilihan migrasi lokal ini semakin ‘menoraja’ mendekat kembali ke dataran tinggi di arah barat menjauh dari lembah Sungai Ussu, pusat kekuasaan Ware’ di sebelah timur. Hal ini tergambar dengan baik pada penamaannya sebagai Toraja yang berasal dari kata “To” yang berarti “Manusia” dan kata “Riaja” yang berarti “di sebelah barat”, di mana Toraja diartikan sebagai manusia yang berdomisili di sebelah barat Ware’

Di habitat awalnya, ----di kawasan hulu sungai Sa’dang tempat leluhurnya berbaur dengan imigran China dari Teluk Tongkin (yang juga diduga generasi Atlantis) berlabuh dan bermukim----- mereka menguatkan kembali peradabannya dan mengentalkan identitasnya sebagai sebuah masyarakat adat “Tondok Lili'na Lapongan Bulan Tana Matari'allo” yang berpegang pada “Aluk Todolo” yang diwarisinya turun-temurun, meski secara politik tetap berafiliasi pada Opung’na Ware’. Kebesaran adat dan peradaban yang dikembangkannya tersebut diidentifikasi sesuai dengan versi penamaan Toraja lainnya yang berasal dari kata “tau” atau “to” yang berarti “manusia” dan “raja” atau “raya” yang berarti “besar”, yang mengartikan “Toraja” sebagai manusia yang berperadaban besar.

Demikian pula dengan komunitas adat lainnya seperti Manusia Wotu, Seko, Pamona, Topadoe, Tolaki, Kaili, Massenrengpulu dan lain-lain berpacu mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan adaptifnya secara berbeda dengan kecenderungan dan semangatnya masing-masing di pemukiman dataran tinggi.

II. Tatanan Masyarakat Ale Kawa (Ekosistem Dataran Rendah)

Manusia-manusia Toraja, Wotu, Pamona, Topadoe, Tolaki dan lain-lain yang secara sengaja atau tidak, bertahan di dataran rendah, ----terutama di wilayah Ware’ dan sekitarnya--- berbaur dengan para imigran baru. Mereka mengembangkan diri secara sosial kultural dengan berbagai aktivitas perdagangan dan jasa serta lainnya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kekotaan wilayah domisilinya di dataran rendah. Dari pergumulan dan akulturasi yang panjang antara manusia-manusia Luwu, Toraja, Wotu, Pamona, Topadoe, Tolaki dan lain-lain beserta dengan kaum imigran baru (yang disebut Deutro Melayu) dari etnik Bugi-Rhama salah satu etnis terbesar di perbatasan Burma (Orang Bersarung) dan Chyan-maa (Thailand) kemudian melahirkan sebuah entitas manusia baru yang disebut Manusia Bugis (To Ugi’). Kedatangan Bugi-Rhama dimulai pada periodisasi Petta La (Pattalo) Bunga (Pong Battoraya) atau pada dinasti kedua Kerajaan Luwu sekitar tahun 1000 M. yang juga hampir bersamaan dengan kedatangan imigran Benggali dan Campa di daerah yang sekarang ini dihuni Manusia Mandar. Para pendatang baru yang juga diduga merupakan generasi manusia Atlantis itu menyebar ke berbagai kawasan dataran rendah yang berada dibawah pengaruh Negara Kerajaan Luwu, termasuk tentunya ke sebuah negeri yang dalam Kitab La Galigo disebut Cina yang dipimpin oleh La Sattumpugi (mertua sekaligus paman dari Sawerigading). Negeri La Sattumpugi yang kemudian dipimpin oleh putrinya We Cudaiq (Istri Sawerigading) yang bergelar Daeng Ri Sompa, Datunna Cina, Datunna Tana Ugi’ inilah yang merupakan cikal bakal kekuasaan Manusia Bugis (To Ugi’) yang meski sampai saat ini titik lokasinya masih diperdebatkan tapi telah menjadi kekuatan penggerak awal dan utama dalam mengembangkan Tatanan Masyarakat Ale Kawa (Ekosistem Dataran Rendah) di seantero Pulau Sulawesi, Asia Tenggara dan sekitarnya.

Seiring dengan melemahnya Negara Kerajaan Luwu dan semakin berkembang dan menguatnya berbagai Tatanan Masyarakat Ale Kawa lainnya. Komunitas-komunitas yang awalnya hanya berupa Tata Pemerintahan Tradisional tersebut menguat dengan sendiri-sendiri atau berkolaborasi membentuk negara kerajaan (seperti TPT Talo’ Tenreng, TPT Betteng Pola, TPT Tuwa’ yang berkonfederasi membentuk Negara Kerajaan Wajo) yang pada akhirnya menyamai atau bahkan melampaui kebesaran induknya. Demikian pula Bone, membentuk Negara Kerajaan Bone dan Soppeng membentuk Negara Kerajaan Soppeng lalu ketiganya bersumpah setia mengadakan perjanjian kerjasama dalam suatu asosiasi antar negara yang disebut TellumpoccoE. Proses merger antara berbagai TPT tersebut melahirkan sejumlah negara baru yang berbentuk kerajaan melalui berbagai perjanjian antara negara.

Tatanan Masyarakat Ale Kawa, antara lain meliputi:
1. Ekosistem Dataran Rendah TelumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo);
2. Ekosistem Dataran Rendah Ajang Tappareng (Sidenreng, Rappang, Sawitto, Suppa dan Alitta);
3. Ekosistem Dataran Rendah Wolio;
4. Ekosistem Dataran Rendah Wadeng;
5. Ekosistem Dataran Rendah Siang;
6. Ekosistem Dataran Rendah Balangnipa;
7. Ekosistem Dataran Rendah Bantaeng;
8. Ekosistem Dataran Rendah Gowa-Tallo;
9. dan lain-lain.

III. Tatanan Masyarakat Buriq Liu (Ekosistem Laut dan Rantau)

Atas berbagai motif dan tujuan, “Masyarakat Boting Langiq” dan “Masyarakat Ale Kawa” yang sedang berkembang tersebut menciptakan pilihan ketiga sebagai konsekuensi dan solusi atas laju perkembangannya yang disebut “Masyarakat Buriq Liu” dalam bentuk pelayaran niaga (perdagangan) dan perantauan ke seberang lautan yang penuh tantangan dan harapan. Secara umum, motif dan tujuan perantauan Manusia Bugis ke “Buriq Liu” (Negeri Seberang) tersebut minimal adalah motif ekonomi dan politik. Daerah tujuannya antara lain meliputi:

1. Rantau Jawa, Sunda dan sekitarnya
Pulau Jawa dahulu dikenal dengan nama Jawa Dwipa yang berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “Pulau Padi” sebagaimana disebut dalam epik Hindu Ramayana. Ptolomeus, Ahli geografi Yunani juga menyebutkan dalam tulisannya adanya “Negeri Emas” dan “Negeri Perak” serta antara lain pulau ”Labadiu” yang berarti “Pulau Padi”. Menurut Ptolomeus bahwa di ujung barat Pulau Labadiou terdapat sebuah negeri yang bernama Argyre (Kota Perak) yang dihubungkan dengan kerajaan Salakanagara (“Salaka” diartikan perak, sedangkan “nagara” diartikan kota) pada zaman Sunda Kuno. Salakanagara dalam sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajatapura. Sedangkan dalam Kitab La Galigo disinyalir disebut Sundra yang dibagi menjadi 2 yaitu Sundra Rilau (Sunda Timur atau mungkin Sunda Kecil yang mencakup gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba dan Timor) dan Sundra Riaja (Sunda Barat atau mungkin Sunda Besar yang meliputi pulau besar yang terdiri dari Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan). Kawasan ini dalam Kitab La Galigo disebutkan sebagai daerah-daerah yang pernah dikunjungi Sawerigading.

2. Rantau Kalimantan
Pulau terbesar ketiga di dunia ini sebelumnya bernama Warunadwipa yang artinya Pulau Dewa Laut. Dalam naskah Jawa Kuno, Kalimantan disebut Nusa Kencana. Sedangkan Orang Melayu menyebutnya Pulau Hujung Tanah. Oleh kolonial Inggris dan Belanda Kalimantan disebut Borneo. Nama Borneo atau juga yang telah menjadi nama sebuah negara saat ini (Brunei Darussalam) diduga kuat oleh berbagai pihak berasal dari bahasa Makassar, yakni dari kata “Bori’” yang berarti “negeri” dan dari kata “Nai” yang berarti “naik atau bergerak ke atas” yang diartikan sebagai “negeri yang bisa dicapai dengan pelayaran melawan arus”.

3. Rantau Sumatera
Sumatera dalam bahasa Sansekerta dinamai Suwarnadwipa (Pulau Emas) atau Suwarnabhumi (Tanah Emas) yang telah digunakan dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Selain itu Sumatera juga dikenal sebagai pulau Andalas dan Samotra (Samodera). Di Sumatera ini pula berdiri Negara Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan yang memiliki pengaruh hingga ke Thailand dan Kamboja di utara dan hingga Maluku di timur. Oleh berbagai pihak, Negara Kerajaan Sriwijaya ini diduga sebagai daerah yang disebut Senrijawa dalam Kitab La Galigo.

4. Rantau Maluku dan sekitarnya
Maluku memiliki nama asli “Jazirah al-Mulk” yang artinya kumpulan kerajaan semenanjung yang dikenal dengan kawasan Seribu Pulau serta memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang berlimpah. Pada masa lalu wilayah Maluku seperti Ternate dikenal sebagai penghasil rempah-rempah seperti cengkeh dan pala. Cengkeh adalah rempah-rempah purbakala yang telah dikenal dan digunakan ribuan tahun sebelum masehi. Dalam kitab La Galigo, Negeri Terenati yang diduga Ternate disebut sebagai tempat perantauan Sawerigading. Demikian pula dengan negeri yang disebut Sawangmegga’ dalam Kitab La Galigo diduga berada di gugusan kepulauan Maluku ini.

5. Rantau Malaka, Kepulauan Riau dan sekitarnya
Malaka yang kawasannya sekarang ini telah menjadi Malaysia pernah menjadi bandar niaga internasional dan selalu berganti tuan juga merupakan daerah rantau (Boriq Liu) bagi manusia Bugis. Demikian pula dengan Kepulauan Riau dan sekitarnya tidak luput dari penambatan perahu manusia-manusia Bugis. Hal ini menjadi tidak mengherankan kemudian jika sejumlah tokoh politik, bisnis dan pemeritahan di Malaysia dan Kepulauan Riau dipegang oleh generasi manusia Bugis. Sebagai contoh yang dapat disebutkan adalah fakta bahwa dari sembilan raja yang memerintah di Malaysia dewasa ini, ternyata pada umumnya merupakan keturunan Negara Kerajaan Luwu, yakni We Tenri Leleang yang memerintah pada peride ke-26 dan ke-28.

Kehidupan Manusia Bugis sebagaimana yang telah diulas merupakan pergerakan dan pergolakan siklus dialektis tiga ranah, yakni:
- Boting Langiq (Ekosistem Dataran Tinggi) sebagai tesis;
- Ale Kawa (Ekosistem Dataran Rendah) sebagai antitesis;
- Buriq Liu (Ekosistem Laut dan Rantau) sebagai sintesis.

Siklus dialektis ini bergelora dan berkecamuk secara berkesinambungan dan berkelanjutan sepanjang aliran waktu dan sejarah peradaban Manusia Bugis hingga hari ini.
======================

Daftar Sumber Lisan:
a. Ambo Illang Dg. Marala (al-Marhum), Tanasitolo – Wajo – Sulawesi Selatan;
b. Drs. Andi Sangkuru, M.Si, Makassar – Sulawesi Selatan;
c. H. Abd. Salam Mas’ud (al-Marhum), Tosora – Wajo – Sulawesi Selatan;
d. Andi Sinring, Pammana – Sulawesi Selatan.
e. Muh. Marwan R. Hussein, Makassar – Sulawesi Selatan;
f. Ikrar “Opu” Idrus, Makassar – Sulawesi Selatan;
g. Armin Mustamin To Putiri, Makassar – Sulawesi Selatan;

Daftar Sumber Tertulis:
a. http://sains.kompas.com/read/2009/12/12/13074299/Nenek.Moyang.Bangsa.Asia.dari.Asia.Tenggara
b. http://www.ox.ac.uk/media/news_releases_for_journalists/080523.html
c. http://artshangkala.wordpress.com/2009/10/25/ras-nusantara/
d. www.metasains.com/2010/02/mencari-jejak-la-galigo/
e. www.scribd.com/.../I-La-Galigo-Epic-Bugis-Indonesia-Legend-Myths-Epic
f. www.forumbudaya.org/index.php?option=com...task
g. http://id.wikipedia.org/wiki/La_Galigo
h. http://www.sinarharapan.co.id/hibura...0327/bud2.html
i. www.topblogarea.com/sitedetails_40297.html
j. http://id.wikipedia.org/wiki/Lumeria
k. http://blitar.org/blitar/kab.php
l. http://misteridunia.files.wordpress.com
m. Abidin, Andi Zainal, 1983, Persepsi orang Bugis Makassar tentang Hukum, Negara, dan Dunia Luar, Alumni, Bandung.
n. Alfian (Ed), 1985 Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan, Gramedia, Jakarta.
o. Ali, A. Muh. 1969, Bone Selayang Pandang, Kantor Daerah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kabupaten Bone.
p. Kartodirdjo, Sartono. 1987, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, I, Gramedia Jakarta.
q. Mattata, H.M. Sanusi Daeng, 1957, Luwu dalam Revolusi, Yayasan Pembangunan Asrama IPMIL, Luwu.
r. Mattulada, 1982, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, Bhakti Baru -Berita Utama, Ujung Pandang.
s. Mukhlis (Ed). 1986, Dinamika Bugis - Makassar, PLPIIS - YIIS, Makassar.
t. Notosusanto, Nugroho, 1979, Sejarah Demi Masa Kini, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
u. Patunru, Abdurrazak Daeng, 1964, Sejarah Wajo, YKSST Makassar
v. Patunru, Abdurrazak Daeng, 1967, Sejarah Gowa, YKSST Makassar
w. Tandilangi, Puang Paliwan, 1969, Pitu Ulunna Salu Pitu Babana Binanga Karua Taparitti′na Wae, Bingkisan YKSST, No. 1-2, Makassar.

2 komentar:

  1. Cuma ingin menanyakan kalau penulis artikel ini punya bukti kukuk (silsilah) keturunan Sultan2 yang memerintah dewasa ini di negeri2 di Semenanjung Malaysia ADA PERTALIAN DARAH BUGIS/LUWOK/MAKASSAR. Setahu saya tidak ada diantara mereka berketurunan Luwu/Bugis/Makassar kecuali Sultan Johor dan Sultan Selangor.

    BalasHapus
  2. reinterpretasi ttg tatanan masyarakat luwu purba (baca bugis) sangat logis. melihat kondisi geografis sulawesi yg terdiri atas pegunungan, dataran rendah, dan pantai. menurut saya boriq liu bisa juga diinterpretasikan dgn masyarakat pesisir, atau masyarakat yg hidup di laut seperti suku bajo.
    wallahu a'lam.

    BalasHapus